Kamis, 01 November 2007

PENILAIAN ISLAM TERHADAP POLITISI PENJILAT

PENILAIAN ISLAM TERHADAP POLITISI PENJILAT
Das’ad Latif
Ketua Ikatan Dai Muda profesional Makassar

Seorang lelaki bernama Yunus bin Ya’qub mendatangi imam Ja’far Ash-Shadiq sambil berkata, “berikanlah tanganmu padaku karena aku hendak menciumnya”. Imam Ja’far memberikan tangannya dan lelaki itu pun dengan leluasa menciumnya. Kemudian laki-laki itu melanjutkan permintaannya, “dekatkanlah kepalamu.” Imam mendekatkan kepalanya dan lelaki itu menciumnya. Tak puas sampai disitu, lelaki itu berkata, “berikan kakimu karena aku ingin menciumnya juga.” Imam Shadiq dengan nada tidak senang berkata, “aku bersumpah bahwa setelah mencium tangan dan kepala maka anggota tubuh yang lain tak layak untuk dicium.”
Kisah sederhana di atas mengandung hikmah yang sangat besar untuk dijadikan pelajaran. Setidaknya ada dua point penting yang bisa dijadikan pelajaran. Pertama, islam melarang segala bentuk penjilatan. Kedua, siapapun yang dijilat, hendaklah tidak merasa enak dan mawas diri.
Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah pemimpin keagamaan yg memiliki kewenangan setingkat gubernur. Sementara Yunus bin Ya’qub adalah jamaah sang Imam yang sekaligus bertugas mengurusi segala keperluan sang Imam (bahasa birokrasinya staf).
Sebenarnya Yunus mencium tangan dan kepala sang imam termotivasi oleh niat ingin mendapat pujian. Ia melakukannya agar dengan cara itu ia mendapatkan pengakuan ketaatan dan ketulusan dari pemimpinnya sehingga ia bisa tetap diberikan kepercayaan untuk tetap pada posisinya, jika perlu mendapat kenaikan derajat.
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang penilaian islam terhadap politisi penjilat, dirasa perlu untuk mengemukakan siapa sesungguhnya yang masuk dalam ketegori politisi.
Dalam buku Komunikasi Politik, Dan Nimmo menguraikan bahwa secara umum politisi adalah mereka yang aktivitasnya atau profesinya, atau pekerjaannya, memiliki keterikatan ataupun bersangkut paut dengan dunia kekuasaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa politisi bukan hanya mereka yang berada di gedung parlemen (seperti yang dipahami oleh masyarakat awam selama ini), tapi juga mereka yang ada di gedung pemerintahan. Bahkan termasuk didalamnya adalah orang non struktural, termasuklah didalamnya kontraktor yang mengharap proyek di lingkup pemerintah.
Sikap dan perilaku Yunus bin Ya’qub di atas, dalam dunia kemasyarakat dikenal dengan istilah (maaf) “penjilat”. Tabiat penjilat seperti ini sangat sering kita jumpai dalam dunia organisasi apa saja, terutama dunia birokrasi.
Akhir-akhir ini, saat menjelang pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) provinsi Sulawesi Selatan, ada kecenderungan manusia yang bertabiat penjilat semakin menjamur seiring dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pilkada.
Manusia bertabiat penjilat banyak dijumpai dalam tim sukses maupun tim relawan dari setiap calon. Tujuannya tentu bukan semata-mata kerana ingin memenangkan calonnya tapi lebih kepada kepentingan pribadinya, yaitu agar posisinya tetap bertahan atau jika perlu dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi. Baik saat ini (sebelum pilkada) maupun setelah pilkada.
Karakteristik manusia penjilat ini antara lain: Pertama dan utama, bermental ABS alias asal bapak senang. Mental seperti ini biasanya dilakoni oleh bawahan saat dilakukan kontrol atau pemeriksaan oleh atasannya. Saat menyampaikan laporan, bawahan tersebut tidak mengemukakan fakta atau realitas yang sesungguhnya dilapangan. Penyebabnya tentu saja karena jika dia menyampaikan fakya yang sesungguhnya maka pimpinan akan kecewa, lalu berdampak pada evaluasi kinerja bawahan tersebut, dan pada akhirnya bawahan tersebut akan kehilangan posisi.
Karakter kedua, sangat berlebih-lebihan dalam memberikan penghormatan terhadap atasan. Karakter ini sangat mudah diketahui karena dapat dilihat dari tingkah laku atau perilaku bawahan saat berkomunikasi langsung dengan atasan. “Penjilatan” mereka sangat mudah diketahui karena terlihat melalui bahasa tubuh mereka. Bahasa tubuh mereka antara lain terlalu membungkuk (hampir ruku’) didepan atasan saat berkomunikasi, menciumi tangan atasan, padahal atasan lebih muda usianya, bahan pembicaraannya selalu berputar-putar sekitar memuji-muji atasan (dalam bahasa makassar disebut pakompa-kompai),
Mengapa hal ini bisa terjadi?, salah satu penyebabnya karena kesalahpahaman terhadap makna dan pengertian rendah hati (tawadhu’). Misalnya pujian bawahan yang sangat berlebih-lebihan terhadap atasnnya tadi. Ironisnya lagi karena sang atasan mengangguk-anggukan kepalanya, sementara hal yang dijadikan bahan pujian bahannya tersebut sebenarnya tidak terjadi.
Karakter ketiga, dan ini yang sangat dilarang agama, yaitu suka memfitnah. Fitnah tersebut diarahakan kepada orang yang dianggap ataupun yang dinilai dapat mengancam posisinya. Pada tahap ini, penjilat tidak akan segan-segan melakukan segala macam cara untuk mempertahankan posisinya, termasuk memfitnah pesaingnya.
Dalam bahasa komunikasi politik, fitnah ini dikenal dengan istilah “blac campain”, yaitu kegiatan menyebarluaskan isyu-isyu tidak benar kepada masyarakat pemilih, dengan tujuan isyu yang dilemparkan merusak citra seseorang sehingga pemilih tidak memilih orang yang diisyukan tersebut pada hari H pilkada.
Blac campain memberikan pendidikan politik yang sangat tidak baik kepada masyarakat, bahkan bisa melahirkan konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat, dan jika itu terjadi maka benarlah pepatah yang mengatakan “Menang jadi arang, kalah jadi abu”. Inilah “Toddopuli” yang salah arah, inilah “siri’ yang salah tafsir, inilah “pacce” yang kehilangan makna..
Dalam pandangan islam, fitnah sangat dilarang karena bukan saja merusak si pelaku (orang yang memfitnah), tapi juga merusak orang yang dijadikan sasaran fitnah. Fitnah pada akhirnya mengarah kepada pembunuhan karakter terhadap orang yang difitnah, bahkan berdampak pada hilangnya peluang orang-orang yang kompten untuk menduduki jabatan. Karena besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh fitnah, sehingga Allah swt, menegaskan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Seorang penjilat sejatinya sedang membohongi dirinya. Dia menipu dirinya sendiri, bahkan menginjak-injak hati nuraninya. Apa yang dilakukan berlawanan dengan lubuk hatinya. Dia rela melakukan apa saja secara berlebihan demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang yang dijilatinya.
Lalu bagaimana pandangan islam tentang pridadi penjilat?. Rasulullah saw, bersabda, “ Menjilat bulan termasuk karakteristik moral seorang muslim”.(Kanzul ‘ummal, hadis 29364). Bahkan moral penjilat bukan pribadi muslim sejati, bahkan sebenarnya mental penjilat lebih dekat dengan karakter seorang munafik, dan orang munafik dalam al-quran dimasukkan dalam “Innal Munafikina firdalkil aspali minannar”, “sesungguhnya tempat bagi orang munafik adalah keraknya neraka, neraka paling bawah”.
Mengapa islam melarang perilaku menjilat?, karena menjilat adalah salah satu bentuk kehinaan, yaitu menghina dan merendahkan diri sendiri, padahal islam datang untuk menjunjung tinggi kemuliaan dan kehormatan manusia. Sedangkan penjilat berusaha menghinakan dan merobohkan harkat dan martabat manusia yang dibangun islam.
Bagaimana pula pandangan islam tentang orang yang “dijilati”?. Jika mencermati kisah di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya islam juga memberikan peringatan bagi orang yang dijilati. Diingatkan bahwa menerima sanjungan atau pujian yang berlebih-lebihan dapat membuat seseorang kehilangan kendali dan kehilangan sikap mawas diri.
Islam mengajarkan bahwa salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kearifandan kehati-hatian dalam menyikapi pujian sanjungan yang berlebihan. Pemimpin yang ideal tidak serta merta menganguk-anggukkan kepala, apalagi sampai mengiyakan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena mengiyakan sesuatu yang tidak benar berarti membiarkan kebohongan.
Dalam pandangan islam, “penjilan” dan yang “dijilati” sama-sama memiliki keburukan, sama-sama memiliki dampak negatif, baik terhadap pribadi pelakunya, maupun terhadap dunia kemasyarakat, karena itu islam mengajarkan untuk menjauhi sifat tersebut, serta menghindari segala macam kegiatan yang dapat mengarah kepadanya. “Wallahu A’lam”

PENILAIAN ISLAM TERHADAP POLITISI PENJILAT

PENILAIAN ISLAM TERHADAP POLITISI PENJILAT
Das’ad Latif
Ketua Ikatan Dai Muda profesional Makassar

Seorang lelaki bernama Yunus bin Ya’qub mendatangi imam Ja’far Ash-Shadiq sambil berkata, “berikanlah tanganmu padaku karena aku hendak menciumnya”. Imam Ja’far memberikan tangannya dan lelaki itu pun dengan leluasa menciumnya. Kemudian laki-laki itu melanjutkan permintaannya, “dekatkanlah kepalamu.” Imam mendekatkan kepalanya dan lelaki itu menciumnya. Tak puas sampai disitu, lelaki itu berkata, “berikan kakimu karena aku ingin menciumnya juga.” Imam Shadiq dengan nada tidak senang berkata, “aku bersumpah bahwa setelah mencium tangan dan kepala maka anggota tubuh yang lain tak layak untuk dicium.”
Kisah sederhana di atas mengandung hikmah yang sangat besar untuk dijadikan pelajaran. Setidaknya ada dua point penting yang bisa dijadikan pelajaran. Pertama, islam melarang segala bentuk penjilatan. Kedua, siapapun yang dijilat, hendaklah tidak merasa enak dan mawas diri.
Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah pemimpin keagamaan yg memiliki kewenangan setingkat gubernur. Sementara Yunus bin Ya’qub adalah jamaah sang Imam yang sekaligus bertugas mengurusi segala keperluan sang Imam (bahasa birokrasinya staf).
Sebenarnya Yunus mencium tangan dan kepala sang imam termotivasi oleh niat ingin mendapat pujian. Ia melakukannya agar dengan cara itu ia mendapatkan pengakuan ketaatan dan ketulusan dari pemimpinnya sehingga ia bisa tetap diberikan kepercayaan untuk tetap pada posisinya, jika perlu mendapat kenaikan derajat.
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang penilaian islam terhadap politisi penjilat, dirasa perlu untuk mengemukakan siapa sesungguhnya yang masuk dalam ketegori politisi.
Dalam buku Komunikasi Politik, Dan Nimmo menguraikan bahwa secara umum politisi adalah mereka yang aktivitasnya atau profesinya, atau pekerjaannya, memiliki keterikatan ataupun bersangkut paut dengan dunia kekuasaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa politisi bukan hanya mereka yang berada di gedung parlemen (seperti yang dipahami oleh masyarakat awam selama ini), tapi juga mereka yang ada di gedung pemerintahan. Bahkan termasuk didalamnya adalah orang non struktural, termasuklah didalamnya kontraktor yang mengharap proyek di lingkup pemerintah.
Sikap dan perilaku Yunus bin Ya’qub di atas, dalam dunia kemasyarakat dikenal dengan istilah (maaf) “penjilat”. Tabiat penjilat seperti ini sangat sering kita jumpai dalam dunia organisasi apa saja, terutama dunia birokrasi.
Akhir-akhir ini, saat menjelang pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) provinsi Sulawesi Selatan, ada kecenderungan manusia yang bertabiat penjilat semakin menjamur seiring dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pilkada.
Manusia bertabiat penjilat banyak dijumpai dalam tim sukses maupun tim relawan dari setiap calon. Tujuannya tentu bukan semata-mata kerana ingin memenangkan calonnya tapi lebih kepada kepentingan pribadinya, yaitu agar posisinya tetap bertahan atau jika perlu dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi. Baik saat ini (sebelum pilkada) maupun setelah pilkada.
Karakteristik manusia penjilat ini antara lain: Pertama dan utama, bermental ABS alias asal bapak senang. Mental seperti ini biasanya dilakoni oleh bawahan saat dilakukan kontrol atau pemeriksaan oleh atasannya. Saat menyampaikan laporan, bawahan tersebut tidak mengemukakan fakta atau realitas yang sesungguhnya dilapangan. Penyebabnya tentu saja karena jika dia menyampaikan fakya yang sesungguhnya maka pimpinan akan kecewa, lalu berdampak pada evaluasi kinerja bawahan tersebut, dan pada akhirnya bawahan tersebut akan kehilangan posisi.
Karakter kedua, sangat berlebih-lebihan dalam memberikan penghormatan terhadap atasan. Karakter ini sangat mudah diketahui karena dapat dilihat dari tingkah laku atau perilaku bawahan saat berkomunikasi langsung dengan atasan. “Penjilatan” mereka sangat mudah diketahui karena terlihat melalui bahasa tubuh mereka. Bahasa tubuh mereka antara lain terlalu membungkuk (hampir ruku’) didepan atasan saat berkomunikasi, menciumi tangan atasan, padahal atasan lebih muda usianya, bahan pembicaraannya selalu berputar-putar sekitar memuji-muji atasan (dalam bahasa makassar disebut pakompa-kompai),
Mengapa hal ini bisa terjadi?, salah satu penyebabnya karena kesalahpahaman terhadap makna dan pengertian rendah hati (tawadhu’). Misalnya pujian bawahan yang sangat berlebih-lebihan terhadap atasnnya tadi. Ironisnya lagi karena sang atasan mengangguk-anggukan kepalanya, sementara hal yang dijadikan bahan pujian bahannya tersebut sebenarnya tidak terjadi.
Karakter ketiga, dan ini yang sangat dilarang agama, yaitu suka memfitnah. Fitnah tersebut diarahakan kepada orang yang dianggap ataupun yang dinilai dapat mengancam posisinya. Pada tahap ini, penjilat tidak akan segan-segan melakukan segala macam cara untuk mempertahankan posisinya, termasuk memfitnah pesaingnya.
Dalam bahasa komunikasi politik, fitnah ini dikenal dengan istilah “blac campain”, yaitu kegiatan menyebarluaskan isyu-isyu tidak benar kepada masyarakat pemilih, dengan tujuan isyu yang dilemparkan merusak citra seseorang sehingga pemilih tidak memilih orang yang diisyukan tersebut pada hari H pilkada.
Blac campain memberikan pendidikan politik yang sangat tidak baik kepada masyarakat, bahkan bisa melahirkan konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat, dan jika itu terjadi maka benarlah pepatah yang mengatakan “Menang jadi arang, kalah jadi abu”. Inilah “Toddopuli” yang salah arah, inilah “siri’ yang salah tafsir, inilah “pacce” yang kehilangan makna..
Dalam pandangan islam, fitnah sangat dilarang karena bukan saja merusak si pelaku (orang yang memfitnah), tapi juga merusak orang yang dijadikan sasaran fitnah. Fitnah pada akhirnya mengarah kepada pembunuhan karakter terhadap orang yang difitnah, bahkan berdampak pada hilangnya peluang orang-orang yang kompten untuk menduduki jabatan. Karena besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh fitnah, sehingga Allah swt, menegaskan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Seorang penjilat sejatinya sedang membohongi dirinya. Dia menipu dirinya sendiri, bahkan menginjak-injak hati nuraninya. Apa yang dilakukan berlawanan dengan lubuk hatinya. Dia rela melakukan apa saja secara berlebihan demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang yang dijilatinya.
Lalu bagaimana pandangan islam tentang pridadi penjilat?. Rasulullah saw, bersabda, “ Menjilat bulan termasuk karakteristik moral seorang muslim”.(Kanzul ‘ummal, hadis 29364). Bahkan moral penjilat bukan pribadi muslim sejati, bahkan sebenarnya mental penjilat lebih dekat dengan karakter seorang munafik, dan orang munafik dalam al-quran dimasukkan dalam “Innal Munafikina firdalkil aspali minannar”, “sesungguhnya tempat bagi orang munafik adalah keraknya neraka, neraka paling bawah”.
Mengapa islam melarang perilaku menjilat?, karena menjilat adalah salah satu bentuk kehinaan, yaitu menghina dan merendahkan diri sendiri, padahal islam datang untuk menjunjung tinggi kemuliaan dan kehormatan manusia. Sedangkan penjilat berusaha menghinakan dan merobohkan harkat dan martabat manusia yang dibangun islam.
Bagaimana pula pandangan islam tentang orang yang “dijilati”?. Jika mencermati kisah di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya islam juga memberikan peringatan bagi orang yang dijilati. Diingatkan bahwa menerima sanjungan atau pujian yang berlebih-lebihan dapat membuat seseorang kehilangan kendali dan kehilangan sikap mawas diri.
Islam mengajarkan bahwa salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kearifandan kehati-hatian dalam menyikapi pujian sanjungan yang berlebihan. Pemimpin yang ideal tidak serta merta menganguk-anggukkan kepala, apalagi sampai mengiyakan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena mengiyakan sesuatu yang tidak benar berarti membiarkan kebohongan.
Dalam pandangan islam, “penjilan” dan yang “dijilati” sama-sama memiliki keburukan, sama-sama memiliki dampak negatif, baik terhadap pribadi pelakunya, maupun terhadap dunia kemasyarakat, karena itu islam mengajarkan untuk menjauhi sifat tersebut, serta menghindari segala macam kegiatan yang dapat mengarah kepadanya. “Wallahu A’lam”

Minggu, 28 Oktober 2007

PEMIMPIN PILIHAN UMMAT

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemimpin yang telah berhasil memimpin rakyatnya menuju kejayaan dan peradaban yang mulia adalah para nabi dan rasul pilihan Allah. Sejarah telah membuktikan bahwa berkat kepemimpinan para nabi dan rasul tertsebutlah sehingga generasi sekarang juga dapat mengenal kehidupan.

Mendekati pergantian kepala pemerintahan provinsi Sulawesi Selatan, kelompok kepentingan mulai sibuk menjalankan strateginya dalam menentukan siapa yang layak untuk menjadi pemimpin di Sulawesi Selatan.

Diskusi digelar untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pemilihan gubernur. Biasanya orang mulai ribut ketika pembahasan tiba pada tahap format pemilihan dan kriteria calon. Keributan pada tahap format pemilihan (langsung atau tidak langsung) tentu disebabakan kekhawatiran terjadinya politik uang. Kelompok pendukung reformasi khawatir akan terjadi jual beli suara dalam pemilihan gubernur. Sedangkan pada tahap penenetuan kriteria, keributan dipicu pada keinginan orang untuk membuat dan menentukan kriteria sesuai dengan calonnya. Sekiranya kriteria dianggap menghadang calonnya, maka orang akan berusaha menggugurkan kriteria tersebut. Disinilah kelompok pro reformasi dan anti reformasi biasanya mengalami konflik kepentingan, dan tidak jarang terjadi gaya-gaya premanisme dalam konflik tersebut.

Menentukan kriteria memang merupakan pekerjaan yang tidak gampang karena sangat sulit untuk mencari rujukan konsep dan teori yang bisa diterima dan mewakili aspirasi seluruh kelompok kepentingan. Kadangkala teori yang dijadikan rujukan dalam menentukan kriteria sifatnya sangat konseptual sehingga sulit dilaksanakan dilapangan. Ini tentu dapat dimaklumi karena yang membuat teori dan konsep tersebut adalah nmanusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan.

Jika demikian, maka dalam menentukan kriteria calon pemimpin, sebaiknya kita merujuk pada konsep yang telah dibuat oleh zat yang tidak memiliki keterbatasan, yaitu Allah, dan alhamdulillah kriteria itu dapat dijumpai dalam kitab suci Al Qur’an.

Al Qur’an memberi petunjuk -secara tersurat atau tersirat- dalam berbagai aspek kehidupan ummat manusia, ternasuk upaya menjawab pertanyaan yang lagi diributkan oleh masyarakat Sulawesi Selatan: “Siapakah yang layak kita pilih untuk memimpin Sulawesi Selatan”.

Dari celah ayat-ayat Al Qur’an ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.

“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi terpercaya,”, demikian penegasan Allah yang diabadikan dalam Al Qur’an surah Al Qashash ayat 26. Di ayat lain, Allah juga mengabadikan suatu contoh pengangkatan seorang pejabat negara, sebagai kepala bidang logistik kerajaan Mesir, yaitu nabi Yusuf, as , yang pengangkatannya juga berdasarkan kedua sifat kuat dan terpercaya tadi. Raja kerajaan Mesir saat itu memilih nabi Yusuf, as, dengan pertimbangan “ Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami adalah seorang yang kuat lagi terpercaya (QS. 12 : 54). Bahkan Allah SWT memilih Jibril sebagai pembawa wahyuNya, antara lain karena malaikat ini memiliki sifat kuat lagi terpercaya (QS. 82 : 19-21).

Dari ayat di atas secara terang-terangan Allah memberikan sifat yang sekaligus menjadi kriteria dalam menentukan siapa orang bisa diangkat menjadi pemimpin. Sifat dan kriteria itu adalah kuat lagi jujur atau terpercaya.

Sifat kuat dan jujur di sini memang masih sangat abstrak, tapi dapat menjadi jelas ketika mufassir bersepakat bahwa kriteria orang kuat yang dimaksud adalah kuat secara fisik (sehat jasmani), serta kuat karena didukung oleh mayoritas umat.

Mayoritas umat akan memberikan dukungan kepada seseorang yang memiliki sifat jujur lagi terpercaya. Masyarakat beriman sangat alergi dengan pemimpin yang memiliki sifat tidak jujur lagi tidak terpercaya. Kadangkala didengar orang berkata “ kejujuran itukan abstrak dan tidak bisa diukur “. Kata ini mungkin ada benarnya, namun setidaknya kejujuran seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain adalah gaya hidupnya. Jika seseorang bergaya hidup mewah dan kemewahan yang dipertontonkan, secara logis tidak sesuai dengan pendapatannya, maka orang tersebut cenderung tidak jujur dalam menjalankan amanah atau jabatan yang didudukinya. Orang tersebut cenderung memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan atau kelompoknya. Dan fenomena di sekeliling kita menunjukkan bahwa perilaku seperti ini justru mendominasi para pelaksana negara. Wajarlah jika survey membuktikan bahwa negara kita menempati peringkat pertama dalam hal korupsi.

Selain itu, kejujuran seseorang juga dapat dilihat dari segi kemampuan orang tersebut dalam menjalankan amanah yang diberikan. Amanah itu sendiri menurut Rasulullah yang salah satu artinya adalah kemampuan atau keahlian dalam jabatan yang akan dipangku. “ Amanah terabaikan dan kehancuran akan tiba bila jabatan diberikan kepada orang yang tidak mampu”, demikian penegasan Rasulullah.

Mengabaikan amanah satu diantaranya adalah memberikan jabatan kepada orang yang tidak layak memangku jabatan tersebut. Dan salah satu faktor yang berkorelasi dengan kemampuan dalam memangku jabatan adalah kolaborasi antara sifat kuat dengan jujur.
Tidak mudah memang mendapat orang yang menghimpun kedua sifat tersebut, tetapi jika kita terpaksa harus memilih maka pilihlah orang yang paling sedikit kekurangannya serta dilakukan dengan upaya yang bersungguh-sungguh.

Setiap kita boleh saja bahkan memiliki hak untuk menetapkan pertimbangan dan kriteria seseorang yang layak untuk dipilih jadi pemimpin, terutama anggota legislatif. Tetapi sebelum menetapkan pilihan maka camkanlah baik-baik sabda Rasulullah: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk suatu jabatan yang berkaitan dengan masyarakat sedangkan dia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnya ia telah menghianati Allah, Rasul dan kaum Muslim”.

Sabtu, 25 Agustus 2007

buah dari kesabaran

PILKADA:nikmat atau Bencana !

Sejarah membuktikan bahwa, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, belum pernah memilih Gubernur secara langsung. Barulah tahun ini, tahun 2007, masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih sendiri secara langsung kepala pemerintahan atau gubernurnya. Sejak periode orde lama hingga periode orde baru, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih guburnur, masyarakat hanya menerima apa yang telah dipilih oleh anggota legislatif yang duduk di gedung DPRD. Dan kesempatan tersebut, dalam ajaran agama islam disebut nikmat.

Dalam konsep agama islam ada dua jenis pemberian Allah kepada Hamba-NYA, pertama disebut nikmat yaitu pemberian Allah yang mana pemberian tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ada juga pemberian Allah yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Maksudnya pemberian Allah tersebut tidak kita inginkan. Pemberian jenis kedua ini, dalam konsep islam disebut musibah.

Pilkada, merupakan pemberian Allah yang masuk kategori nikmat karena memilih gubenrur secara langsung merupakan keinginan dari seluruh masyarakat. Menentukan dan memilih guburnur secara langsung adalah hal yang diidam-idamkan oleh masyarakat yang menjadi warga dari suatu negara yang memakai sistem demokrasi.
Karena pilkada merupakan nikmat Allah, maka masyarakat harus menyikapinya secara tepat dan tidak boleh menyia-nyiakan nikmat tersebut. Jika salah menyikapi, maka nikmat Pilkada tidak memberikan perubahan yang siknifikan kearah yang lebih sempurna, tapi justru pilkada tersebut akan mengarah kepada kerusakan yang lebih parah. Keyakinan ini didasari oleh ketetapan Allah dalam Al-Qur’an yaitu “Apabila engkau mensyukuri nikmat yang Aku (Allah) berikan, maka Aku (Allah) akan tambah nikmat tersebut, akan tetapi jika engkau mengkufuri nikmat yang aku (Allah) berikan maka ketahuilah bahwa azab-KU sungguh sangat pedih”
Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa nikmat Allah bisa saja berubah menjadi azab atau siksa, tergantung cara manusia menyikapi nikmat tersebut. Demikian halnya dengan nikmat Pilkada. Jika masyarakat Sulawesi Selatan menyikapinya dengan tepat, maka nikmat Pilkada akan ditambah oleh Allah dan tambahan itu berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat serta perubahan kearah yang lebih baik.
Sebaliknya, jika masyarakat Sulawesi Selatan salah dalam menyikapi nikmat Pilkada, maka nikmat Pilkada akan berubah menjadi azab atau siksa, baik dikehidupan sekarang maupun dalam kehidupan alam akhirat. Azab dunia bisa berupa terpilihnya pemimpin yang rusak dan merusak tatanan masyarakat. Pemimpin yang bergumul dengan kemewahan ditengah-tengah masyarakat busung lapar. Pemimpin yang mengharamkan sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram. Pemimpin yang menghancurkan nilai dan norma kehidupan, dan pada akhirnya amanat UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera semakin jauh dari kenyataan.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara mensyukuri nikmat Pilkada? Jawabannya antara lain adalah melaksanakan proses pilkada dengan sebaik-baiknya.
Rasa syukur itu dapat diwujudkan dengan memaksimalkan fungsi dari seluruh eleman masyarakat.
Sebagai lembaga yang dipercayakan untuk menyelenggarakan pelaksanaan pilkada, KPU harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini harus menjadi penyelenggara sesuai amat peraturan perundang-undangan. Jika KPU lalai dalam menjalankan tugasnya, maka akan berakibat pada terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan.
Peran Panwaslu tidak kalah pentingnnya oleh KPU. Sebagai pengawas, lembaga ini,juga harus menjalankan tugas pengawasan dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karenanya ia harus harus dikelola oleh orang yang berintegritas tinggi, serta tahan godaan harta, tahta dan wanita,dan biasanya fungsi pengawasan menjadi longgar apabila dihadapkan dengan tiga perangkap setan tersebut.
Sama halnya dengan KPU dan Panwaslu, Media Massa, juga harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Fungsi penting tersebut antara lain dengan menyebarluaskan informasi dan berita yang proporsional. Informasi dan berita yang diturunkan harus tetap mengedepankan kemaslahatan. Karenanya, berita yang bersifat sensasi, apalagi berbau fitnah, sangat diharamkan dalam peliputan. Dan semua itu bisa terjadi apabila seorang jurnalis menjunjung tinggi kode etik profesi mereka. Jurnalis harus menyadari bahwa, ada kalanya berita harus diabaikan demi mewujudkan kemaslahatan. Ada kalanya fakta di lapangan harus diabaikan apabila fakta tersebut berdampak pada kehancuran massal.
Peranan tim sukses dan relawan, juga sangat besar dalam mewujudkan pilkada sehat. Tim sukses dan relawan tidak boleh menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan. Mereka harus meraih kemenangan secara terhormat dengan mengedepankan sportivitas.
Sangat disayangkan karena ada fenomena bahwa kelihatannya tim sukses dan relawan kecenderungannya mulai saling menyerang. Indikasi kearah tersebut bisa kita lihat pada penyampaian slogan dan kalimat dispanduk ataupun baliho para calon.
Betapapun, pada akhirnya pemilih jugalah yang menentukan berhasil tidaknya proses pilkada. Bagaimanapun baiknya pelaksanaan aturan pilkada, jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya secara baik, maka pilkada belum bisa dikatakan berhasil dan sukses. Secara umum, bisa dikatakan bahwa bagaimanapun, pemilih jugalah yang memegang peran penting dalam menyukseskan pilkada. Ukuranya tentu bukan saja pada aman dan terkendalinya proses pilkada, tetapi yang paling penting adalahberhasilnya masyarakat memilih seorang pemimpin-gubernur- yang betul-betul ideal, yakni pemimpin yang mampu mengantar dan mempercepat terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan dibawah naungan ridha Allah swt.
Apabila masyarakat diberikan nikmat berupa kesempatan memilih langsung pemimpinnya, lalu kesempatan tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk memilih pemimpin sesuai dengan kriteria tuntunan agama, maka pilkada tersebut telah menjadi nikmat. Menjadi nikmat karena pemimpinnya akan lebih memudahkan mereka untuk meraih kesuksesan dunia dan semakin mendekatkan mereka kepada nilai kebenaran.
Sebaliknya, jika pemilih menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam arti memilih pemimpin tidak sesuai dengan kriteria agama, memilih pemimpin berdasarkan kedekatan individual, mengedepankan kenikmatan sesaat berupa money politic, maka pilkada bukan lagi berupa nikmat, akan tapi awal dari sebuah bencana. Dia menjadi bencana karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak berkompoten. Pemimpin yang tidak mencintai mereka.
Bahkan bisa jadi pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang selama masa jabatannya hanya disibukkan dengan urusan bagaimana mengembalikan dana kampanye, serta balas budi terhadap tim sukses dan relawan yang berjasa dalam memenangkannya. Proyek dijalankan tidak mengedepankan sistem tender, akan tetapi dijalankan dengan sistem arisan.
Orientasi program kerjanya adalah proyek yang memakmurkan diri, keluarga dan konconya, bukan pada kemaslahatan masyarakat secara umum. Pemimpin yang membolak balikkan nilai dan norma, yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dijadikan ma’ruf. Dan awal dari semua itu adalah kekufuran pemilih dalam memanfaatkan kesempatan memilih pemimpian ideal.
Sebelum bencana itu terjadi, kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan pilkada tersebut menjadi sebuah nikmat, tentu dengan cara pilihlah pemimpin yang betul-betul ideal dan memiliki kompetensi. Ada baiknya pada hari H kelak, kaum muslim mengamalkan doa yang diajarkan rasulullah dalam memilih pemimpin. Dalam bilik suara kelak, berdoalah: “Ya Allah berilah kami pemimpin yang takut kepada-Mu dan mencintai kami”. Lalu cobloslah pemimpin pilihan anda, dengan tetap meyakini bahwa semua pilihan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.
Oleh: Ustadz Dasad