Sabtu, 25 Agustus 2007

PILKADA:nikmat atau Bencana !

Sejarah membuktikan bahwa, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, belum pernah memilih Gubernur secara langsung. Barulah tahun ini, tahun 2007, masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih sendiri secara langsung kepala pemerintahan atau gubernurnya. Sejak periode orde lama hingga periode orde baru, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih guburnur, masyarakat hanya menerima apa yang telah dipilih oleh anggota legislatif yang duduk di gedung DPRD. Dan kesempatan tersebut, dalam ajaran agama islam disebut nikmat.

Dalam konsep agama islam ada dua jenis pemberian Allah kepada Hamba-NYA, pertama disebut nikmat yaitu pemberian Allah yang mana pemberian tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ada juga pemberian Allah yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Maksudnya pemberian Allah tersebut tidak kita inginkan. Pemberian jenis kedua ini, dalam konsep islam disebut musibah.

Pilkada, merupakan pemberian Allah yang masuk kategori nikmat karena memilih gubenrur secara langsung merupakan keinginan dari seluruh masyarakat. Menentukan dan memilih guburnur secara langsung adalah hal yang diidam-idamkan oleh masyarakat yang menjadi warga dari suatu negara yang memakai sistem demokrasi.
Karena pilkada merupakan nikmat Allah, maka masyarakat harus menyikapinya secara tepat dan tidak boleh menyia-nyiakan nikmat tersebut. Jika salah menyikapi, maka nikmat Pilkada tidak memberikan perubahan yang siknifikan kearah yang lebih sempurna, tapi justru pilkada tersebut akan mengarah kepada kerusakan yang lebih parah. Keyakinan ini didasari oleh ketetapan Allah dalam Al-Qur’an yaitu “Apabila engkau mensyukuri nikmat yang Aku (Allah) berikan, maka Aku (Allah) akan tambah nikmat tersebut, akan tetapi jika engkau mengkufuri nikmat yang aku (Allah) berikan maka ketahuilah bahwa azab-KU sungguh sangat pedih”
Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa nikmat Allah bisa saja berubah menjadi azab atau siksa, tergantung cara manusia menyikapi nikmat tersebut. Demikian halnya dengan nikmat Pilkada. Jika masyarakat Sulawesi Selatan menyikapinya dengan tepat, maka nikmat Pilkada akan ditambah oleh Allah dan tambahan itu berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat serta perubahan kearah yang lebih baik.
Sebaliknya, jika masyarakat Sulawesi Selatan salah dalam menyikapi nikmat Pilkada, maka nikmat Pilkada akan berubah menjadi azab atau siksa, baik dikehidupan sekarang maupun dalam kehidupan alam akhirat. Azab dunia bisa berupa terpilihnya pemimpin yang rusak dan merusak tatanan masyarakat. Pemimpin yang bergumul dengan kemewahan ditengah-tengah masyarakat busung lapar. Pemimpin yang mengharamkan sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram. Pemimpin yang menghancurkan nilai dan norma kehidupan, dan pada akhirnya amanat UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera semakin jauh dari kenyataan.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara mensyukuri nikmat Pilkada? Jawabannya antara lain adalah melaksanakan proses pilkada dengan sebaik-baiknya.
Rasa syukur itu dapat diwujudkan dengan memaksimalkan fungsi dari seluruh eleman masyarakat.
Sebagai lembaga yang dipercayakan untuk menyelenggarakan pelaksanaan pilkada, KPU harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini harus menjadi penyelenggara sesuai amat peraturan perundang-undangan. Jika KPU lalai dalam menjalankan tugasnya, maka akan berakibat pada terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan.
Peran Panwaslu tidak kalah pentingnnya oleh KPU. Sebagai pengawas, lembaga ini,juga harus menjalankan tugas pengawasan dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karenanya ia harus harus dikelola oleh orang yang berintegritas tinggi, serta tahan godaan harta, tahta dan wanita,dan biasanya fungsi pengawasan menjadi longgar apabila dihadapkan dengan tiga perangkap setan tersebut.
Sama halnya dengan KPU dan Panwaslu, Media Massa, juga harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Fungsi penting tersebut antara lain dengan menyebarluaskan informasi dan berita yang proporsional. Informasi dan berita yang diturunkan harus tetap mengedepankan kemaslahatan. Karenanya, berita yang bersifat sensasi, apalagi berbau fitnah, sangat diharamkan dalam peliputan. Dan semua itu bisa terjadi apabila seorang jurnalis menjunjung tinggi kode etik profesi mereka. Jurnalis harus menyadari bahwa, ada kalanya berita harus diabaikan demi mewujudkan kemaslahatan. Ada kalanya fakta di lapangan harus diabaikan apabila fakta tersebut berdampak pada kehancuran massal.
Peranan tim sukses dan relawan, juga sangat besar dalam mewujudkan pilkada sehat. Tim sukses dan relawan tidak boleh menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan. Mereka harus meraih kemenangan secara terhormat dengan mengedepankan sportivitas.
Sangat disayangkan karena ada fenomena bahwa kelihatannya tim sukses dan relawan kecenderungannya mulai saling menyerang. Indikasi kearah tersebut bisa kita lihat pada penyampaian slogan dan kalimat dispanduk ataupun baliho para calon.
Betapapun, pada akhirnya pemilih jugalah yang menentukan berhasil tidaknya proses pilkada. Bagaimanapun baiknya pelaksanaan aturan pilkada, jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya secara baik, maka pilkada belum bisa dikatakan berhasil dan sukses. Secara umum, bisa dikatakan bahwa bagaimanapun, pemilih jugalah yang memegang peran penting dalam menyukseskan pilkada. Ukuranya tentu bukan saja pada aman dan terkendalinya proses pilkada, tetapi yang paling penting adalahberhasilnya masyarakat memilih seorang pemimpin-gubernur- yang betul-betul ideal, yakni pemimpin yang mampu mengantar dan mempercepat terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan dibawah naungan ridha Allah swt.
Apabila masyarakat diberikan nikmat berupa kesempatan memilih langsung pemimpinnya, lalu kesempatan tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk memilih pemimpin sesuai dengan kriteria tuntunan agama, maka pilkada tersebut telah menjadi nikmat. Menjadi nikmat karena pemimpinnya akan lebih memudahkan mereka untuk meraih kesuksesan dunia dan semakin mendekatkan mereka kepada nilai kebenaran.
Sebaliknya, jika pemilih menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam arti memilih pemimpin tidak sesuai dengan kriteria agama, memilih pemimpin berdasarkan kedekatan individual, mengedepankan kenikmatan sesaat berupa money politic, maka pilkada bukan lagi berupa nikmat, akan tapi awal dari sebuah bencana. Dia menjadi bencana karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak berkompoten. Pemimpin yang tidak mencintai mereka.
Bahkan bisa jadi pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang selama masa jabatannya hanya disibukkan dengan urusan bagaimana mengembalikan dana kampanye, serta balas budi terhadap tim sukses dan relawan yang berjasa dalam memenangkannya. Proyek dijalankan tidak mengedepankan sistem tender, akan tetapi dijalankan dengan sistem arisan.
Orientasi program kerjanya adalah proyek yang memakmurkan diri, keluarga dan konconya, bukan pada kemaslahatan masyarakat secara umum. Pemimpin yang membolak balikkan nilai dan norma, yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dijadikan ma’ruf. Dan awal dari semua itu adalah kekufuran pemilih dalam memanfaatkan kesempatan memilih pemimpian ideal.
Sebelum bencana itu terjadi, kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan pilkada tersebut menjadi sebuah nikmat, tentu dengan cara pilihlah pemimpin yang betul-betul ideal dan memiliki kompetensi. Ada baiknya pada hari H kelak, kaum muslim mengamalkan doa yang diajarkan rasulullah dalam memilih pemimpin. Dalam bilik suara kelak, berdoalah: “Ya Allah berilah kami pemimpin yang takut kepada-Mu dan mencintai kami”. Lalu cobloslah pemimpin pilihan anda, dengan tetap meyakini bahwa semua pilihan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.
Oleh: Ustadz Dasad

Tidak ada komentar: