Kamis, 20 November 2008

SELAMAT MEMILIH WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unhas

Alhamdulillah, akhirnya saat yang dinanti-nanti oleh warga kota Makassar tiba juga. Saat-saat tersebut tak lain adalah kesempatan untuk memilih walikota dan wakil walikota secara langsung. Kesempatan seperti ini (memilih langsung walikota dan wakil walikota) merupakan pengalaman pertama bagi warga masyarakat kota Makassar.
Oleh karena peristiwa pikada walikota ini adalah pengalaman pertama bagi warga masyarakat kota Makassar maka ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jangan lewatkan kesempatan berharga tersebut. Mari libatkan diri dalam menulis sejarah perjalanan kota Makassar. Jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan bersejarah ini dengan tidak melibatkan diri dalam memilih walokota dan wakil walikota Makassar.
Kedua, karena suara satu orang warga masyarakat sangat berarti dalam menentukan perjalanan Kota Makassar di masa-masa yang akan datang, maka seyokyanya masyarakat harus teliti dan cermat dalam mementukan pilihan. Jika salah memilih pemimpin, maka akan berakibat pada buruknya roda pemerintahan lima tahun kedepan. Sebaliknya, jika tepat dan jitu dalam memilih pemimpin maka roda pemerintahan lima tahun kedepan membawa masyarakat kota Makassar semakin membaik. Dengan demikian, maka pilihlah calon yang betul-betul memiliki kriteria pemimpin mempuni. Jangan memilih hanya berdasarkan karena calon tersebut masih keluarga, karib, kerabat, padahal calon tersebut diyakini betul-betul tidak punya kompetensi dibidang perintahan dan kepemimpinan. Terlebih-lebih lagi, jangan memilih calon yang melakukan sogok (money politic) karena selain melanggar hukum pidana, juga karena terlarang dalam agama. Rasulullah saw bahkan menegaskan “ Yang disogok dan yang menyogok sama-sama masuk neraka”.
Berdasar pada dua hal di atas, maka diperlukan rujukan pengetahuan dan resep paten bagi masyarakat dalam menentukan pilihan agar tidak salah memilih dan mentukan pilihannya.
Menentukan kriteria memang merupakan pekerjaan yang tidak gampang karena sangat sulit untuk mencari rujukan konsep dan teori yang bisa diterima dan mewakili aspirasi seluruh kelompok kepentingan. Kadangkala teori yang dijadikan rujukan dalam menentukan kriteria sifatnya sangat konseptual sehingga sulit dilaksanakan di lapangan. Ini tentu dapat dimaklumi karena yang membuat teori adalah manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan.
Jika demikian, maka dalam menentukan kriteria calon pemimpin, sebaiknya kita merujuk kepada konsep yang telah dibuat oleh zat yang tidak memiliki keterbatasan, yaitu Allah, dan Alhamdulillah kriteria itu dapat dijumpai dalam kitab suci Alqur’an.
Alqur’an memberi petunjuk baik secara tersurat maupun tersirat dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, termasuk upaya menjawab pertanyaan yang lagi diributkan oleh masyarakat kota Makassar: “Siapakah yang layak kita pilih untuk memimpin Kota Makassar?”.

Kriteria Calon layak pilih
Dalam celah ayat-ayat Alqur’an ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi terpercaya.”, demikian penegasan Allah yang diabadikan dalam Alqur’an surah Al Qashash ayat 26. Di ayat lain, Allah juga mengabadikan suatu contoh pengangkatan seorang pejabat negara, sebagai kepala bidang logistik kerajaan Mesir, yaitu Nabi Yusuf, as, yang pengangkatannya juga berdasarkan kedua sifat kuat dan terpercaya tadi. Raja Kerajaan Mesir saat itu memilih Nabi Yusuf, as dengan pertimbangan “Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami adalah seorang yang kuat lagi terpercaya (QS. 12:54). Bahkan Allah SWT memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain karena malaikat ini memiliki sifat kuat lagi terpercaya (QS. 82:19-21).
Dari ayat di atas secara terang-terangan Allah memberikan sifat yang sekaligus menjadi kriteria dalam menentukan siapa orang bisa diangkat menjadi pemimpin. Sifat dan kriteria itu adalah kuat lagi jujur atau terpercaya.

Pertama, harus kuat
Sifat kuat dan jujur di sini memang masih sangat abstrak, tapi dapat menjadi jelas ketika mufassir bersepakat bahwa kriteria orang kuat yang dimaksud adalah kuat secara fisik (sehat jasmani), serta kuat karena didukung oleh mayoritas umat.
Kuat secara fisik setidaknya dapat dilihat dari tinjauan umur. Secara empiris, mereka yang berumur muda akan lebih enerjik jika dibandingkan dengan mereka yang sudah uzur. Andai kota Makassar diibaratkan dengan perjalanan umur seorang manusia, maka Makassar ini sedang berada pada jenjang gadis remaja yang lagi berkemang sehingga membutuhkan seorang pemuda yang enerjik bukan yang loyo, tahan banting bukan yang cepat menyerah, serta gaul tapi tidak kajili-jili. Gaul yang dimaksud disini adalah seseorang yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, bukan gaul dalam arti suka ketempat-tempat hiburan semata.
Selain itu, kuat juga dapat dilihat dari banyaknya dukungan yang diperoleh oleh sang calon. Dukungan mayoritas disini adalah diatas lima puluh prosen dari jumlah pemilih. Dukungan mayoritas tentu sangat dibutuhkan, karena semakin banyak dukungan maka semakin kuatlah pemimpin tersebut kelak dalam menjalankan program kerjanya. Demikian sebaliknya.
Dalam hal ini Negara Jepang telah mencotohkan dengan sangat baik dimana perdana menterinya mengundurkan diri karena tidak mendapat suara mayoritas di parlemen.

Kedua, Jujur
Mayoritas umat akan memberikan dukungan kepada seseorang yang memiliki sifat jujur lagi terpercaya. Masyarakat beriman sangat alergi dengan pemimpin yang memiliki sifat tidak jujur lagi tidak terpercaya. Kadang kala didengar orang berkata “kejujuran itu kan abstrak dan tidak bisa diukur”. Kata ini mungkin ada benarnya, namun setidaknya kejujuran seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain adalah gaya hidupnya. Jika seseorang bergaya hidup mewah dan kemewahan yang dipertontonkan, secara logis tidak sesuai dengan pendapatannya, maka orang tersebut cenderung tidak jujur dalam menjalankan amanah atau jabatan yang didudukinya. Orang tersebut kelak jika jadi pemimpin cenderung memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan atau kelompoknya. Kita patut bersyukur karena dari semua calon tidak ada yang masuk dalam daftar tersangka kasus korups.
Selain itu, kejujuran seseorang juga dapat di lihat dari segi kemampuan orang tersebut menjalankan amanah yang diberikan. Amanah itu sendiri menurut Rasulullah yang salah satu artinya adalah kemampuan atau keahlian dalam jabatan yang akan dipangku. “Amanah terabaikan dan kehancuran akan tiba bila jabatan diberikan kepada orang yang tidak mampu”, demikian penegasan Rasulullah.
Mengabaikan amanah satu diantaranya adalah memberikan jabatan kepada orang yang tidak layak memamngku jabatan tersebut. Dan salah satu faktor yang berkorelasi dengan kemampuan dalam memangku jabatan adalah kolabolasi antara sifat kuat dengan jujur.
Tidak mudah memang mendapat orang yang menghimpun kedua sifat tersebut, tetapi jika kita terpaksa harus memilih maka pilihlah orang yang paling sedikit kekurangannya serta dilakukan dengan upaya yang bersungguh-sungguh.
Setiap kita boleh saja bahkan memiliki hak untuk menetapkan pertimbangan dan kriteria seorang yang layak untuk dipilih jadi pemimpin, Tetapi sebelum menetapkan pilihan maka camkanlah baik-baik sabda Rasulullah: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk suatu jabatan yang berkaitan dengan masyarakat sedangkan dia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan kaum Muslim.”
Agar terhindar dari golongan tersebut, maka berhati-hatilah dalam menentukan pilihan. Gunakanlah waktu (hanya kurang lebih lima menit dalam bilik suara) dengan sebaik-baiknya. Jangan ceroboh dan terpengaruh oleh godaan uang. Manfaatkan akal sehat dan iman dalam menentukan pilihan. Lalu Ada baiknya pada hari H kelak, kaum muslim mengamalkan doa yang diajarkan rasulullah dalam memilih pemimpin. “Ya Allah berilah kami pemimpin yang hanya takut kepada-Mu dan mencintai kami”. Lalu cobloslah pemimpin pilihan anda, dengan tetap meyakini bahwa semua pilihan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.
SUDAH SIAPKAH DENGAN RESIKONYA
(sekedar renungan bagi Caleg)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin


Perhelatan pesta demokrasi di tanah air berupa pemilihan umum (pemilu) anggota legislatif tinggal menghitung bulan, para politisipun menyambutnya dengan berbagai persiapan. Mulai dari menampangkan diri di baleho hingga mengirim sms ke para karib kerabat yang isinya memohon dukungan dalam pemilu mendatang.
Penulis termasuk salah seorang yang sering mendapat telefon serta sms dari para caleg yang memohon doa restu penulis. Para karib tersebut menelfon meng-sms penulis mungkin salah satu pertimbangannya karena penulis seorang mubaliq yang memiliki beberapa kelompok majelis ta’lim.
Merespon telefon dan sms tersebut, penulis menyampaikan: “selama berpihak kepada rakyat, maka tentu bukan hanya penulis yang memilih anda, tapi juga orang lain yang properbaikanpun akan memilih anda”. Selain itu, penulis juga menyampaikan sebuah pertanyaan pendek, tapi sarat makna. “Sudah siapkah anda dengan segala resikonya”?.
Tulisan ini selain menjawab pertanyaan para penelfon, juga mengingatkan kembali kepada para caleg yang siap bertarung dalam pemilu mendatang. Tujuannya tentu bukan untuk menakuti, tapi lebih kepada agar para caleg setelah terpilih kelak dapat istiqamah dalam menjalankan amanah rakyat.
Pengalaman empiris bangsa, dari beberapa kali pergantian pemerintahan dan wakil rakyat, kecenderungannya menunjukkan perilaku yang kurang lebih sama, yaitu kurang memiliki keberpihakan kepada rakyat, justru berpihak kepada kepentingan pribadi kerabat dan konco. Janji-janji mendahulukan dan mementingkan rakyat hanya dijadikan obyek. Baik untuk meningkatkan penghasilan pribadi, kelompok, maupun sebagai pembenaran atas kebijakan yang tidak populis dan merugikan rakyat. Kesimpulan ini bukan fitnah, tapi sebuah fakta. Lihatlah kasus rancangan undang-undang yang dibuat berdasarkan sponsor pengusaha yang terkait langsung dengan rancangan undang-undang tersebut.
Perilaku semacam ini tentu bertentangan dengan apa yang telah Rasulullah saw dan para sahabat contohkan. Rasulullah menginformasikan bahwa pemimpin, termasuk para wakil rakyat adalah pelayan bagi kaumnya. Artinya, wakil rakyat tugasnya memberikan pelayanan yang optimal kepada rakyat dengan memelihara segala urusan, kesejahteraan, dan kemaslahatan rakyatnya.
Selanjutnya, Rasulullah saw juga mengingatkan para wakil rakyat yang tidak amanah bahwa mereka kelak tidak akan pernah mencium wanginya surge. Rasulullah saw bersabda: “tidak seorang hambapun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara dan mengurus kemaslahatan rakyat lalu dia tidak melingkupi rakyat dengan kemaslahatan kecuali ia tidak akan mencium harumnya surge.”( HR.Bukhari).
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw menegaskan, “tidak seorang hambapun yang diserahi Allah memelihara dan mengurus (kepentingan) rakyat, lalu meninggal, sementara ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan atas dirinya surge.” (HR. Muslim, Ahmad, dan ad-Danmi)
Bahkan Rasullah saw mendoakan mereka yang diserahi amanah lalu menyalahgunakan amanah agar Allah menimpakan kesengsaraan kepada mereka seperti mereka menyengsarakan rakyatnya. Doa Rasulullah saw, “ Ya Allah, siapa saja yang memegang urusan umatku dan bersikap memberatkan atau menyulitkan mereka, maka balaslah dengan perlakuan yang sama. Siapa saja yang memegang urusan umatku lalu bersikap lembut kepada mereka, balaslah dengan perlakuan yang sama.” (HR. Muslim).
Uraian di atas jelas menunjukkan betapa besar azab dan siksa yang akan diterima oleh para pemegang amanah. Azab dan siksa ini tentu bukan hanya diterima di dunia saja. Tetapi yang lebih dahsyat di akhirat kelak. Azab dunia dapat berupa hukuman sosial seperti dikucilkan masyarakat, tidak terpilih lagi dalam pemilu berikutnya.
Sebelum semua itu terjadi maka para caleg perlu melakukan langkah antisipasi melalui tindakan cerdas dengan tetap berpegang pada ridho Allah swt. Jadilah pemegang amanah seperti khalifah Umar bin Abdul aziz. Pemegang amanah yang masih muda, tetapi dapat mensejahterakan rakyatnya dalam waktu yang relative singkat, dua tahun lima bulan, tidak cukup satu periode bagi kepemimpinan seorang anggota dewan (lima tahun satu periode).
Kalifah Umar bin Abdul Aziz sebelum diangkat menjadi khalifah, beliau dan keluarga termasuk keluarga yang kaya raya. Tetapi setelah diangkat menjadi khalifah, beliau dan keluarga kemudian meninggalkan kemewahan hidup. Segala kekayaan yang dimilikinya diserahkan ke baitul mal (kas Negara). Selanjutnya beliau dan keluarganya hidup hanya mengandalkan gaji dari Negara yang beliau tetapkan sendiri besarannya 200 dinar dalam setahun yang saat itu senilai dengan upah (maaf) pembantu rumah tangga.
Sebelum menjadi khalifah, makanannya yang dikonsumsi termasuk dalam kategori masyarakat mampu. Tetapi setelah menjadi khalifah, makanan yang dikonsumsi hanya berupa roti kering dicampur minyak. Makanan bagi kalangan pinggiran saat itu. Suatu saat beliau ditanya oleh stafnya tentang sikapnya tersebut. Jawabnya sangat menggetarkan jiwa: “bagaimana aku bisa merasakan penderitaan rakyat jika saya hidup dalam kemewahan”.
Sepertinya firman Allah swt dalam surah Al-Anfal ayat 27 telah terpatri dalam hatinya. “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahuinya”. Ayat inilah yang menjadi pegangan Umar bin Abdul Aziz dalam menjalankan jabatannya.
Sekiranya para caleg memiliki karakter seperti Umar bin Abdul Aziz, maka tanpa kampaye dengan menghaburkan duitpun (money politic) caleg tersebut insya allah mulus ke kursi parlemen.
Andai saja para pemegang amanah rakyat memiliki kepribadian layaknya Umar bin Abdul Aziz, maka gedung parlemen dipenuhi oleh politisi yang senantiasa membuat kebijakan mensejahterakan rakyat, bukan malah menyengsarakan rakyat. Mereka hendaklah menerima gaji sekedarnya saja, bukan malah menuntut gaji secara berlebihan memperkaya diri.
Para caleg harus sudah siap meluangkan waktu sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, tidak rangkap jabatan, juga sudah siap melepaskan segala kegiatan yang dapat melalaikan mereka dari mengurus rakyat.
Namun sangat disayangkan pilitisi model Umar Bin Abdul Aziz masih sangat langka di parlemen. Ironisnya lagi adalah partai-partai yang berdasarkan islam (ajaran agama) justru kadernya kadang menunjukkan sikap dan prilaku yang sangat tidak islami. Fenomenanya justru yang menjamur adalah pelitisi aji mumpung, politisi yang larut dalam syahwat kekuasaan.
Ditengah-tengah kita, masih banyak manusia yang maju jadi caleg bukan dimotivasi oleh semangat pengabdian dan semangat untuk menjadi pelayan masyarakat, tapi termotivasi oleh libido kekuasaan.
Kekuasaan itu memang menggiurkan di negeri ini karena segala hal dapat dimulai dari kekuasaan. Dari politik para pengusaha pun dengan mudah merapat ke penguasa. Uang mengabdi politik dan politik jadi terikat uang.
Kekuasaan ibarat gula yang mengundang kawanan semut karenanya banyak sekali ditemu mengusaha yang sudah beromset milyaran masih ingin menuju parlemen. Para pengusahapun berebut jadi pilitisi, sementara para politi berebut jadi pengusaha dan bahkan tidak sedikit yang sekalian merangkap keduanya, politisi sekaligus pengusaha, pengusaha sekaligus politisi, sehingga lupa amanat pemilih. Lalu sanak keluargapun ikut sibuk berada dilingkaran kuasa, jadi politisi karbitan atau menjadi pengusaha atas berkah kekuasaan keluarga. Politik sekalian jadi lowongan kerja secara turun temurun. Jadi jangan heran jika kita menjumpai baleho mempernalkan caleg yang masih itu-itu juga. Bahkan ada dijumpai baleho yang menampangkan wajah orang yang tidak jelas latar belakang prestari dan karier politiknya, tiba-tiba masuk daftar caleg DPR-RI.
Ada juga dijumpai orang yang suka berkeliaran di tempat-tempat yang identik dengan kegiatan melanggar ajaran agama, tiba-tiba wajahnyapun muncul di baleho dengan bungkusan kostum yang sangat soleh disertai kalimat da’wah layaknya seorang ulama.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada baiknya kita merenungkan kemabali pesan orang-orang bijak: “ Belajarlah dari sejarah”. Para caleg dapat belajar pada khulafa ar-Rasyidin (empat sahabat pilihan Rasulullah saw)di masa silam. Pelajarilah pola hidup manusia soleh tersebut, yang tetap istiqamah dalam memperjuangkan amanah rakyat walau nyawa sebagai taruhannya. Dalam sejarah modern, bisa belajar pada Mahatma Gandhi dan George Washington. Gandhi mengajarkan bagaimana jadi pemimpin pencerahan tanpa harus berkuasa. Sedangkan Washington adalah sosok menguasa yang tahu persis kapan harus turun dalam saat yang tepat, ketika sukses telah diraih lalu member jalan kepada generasi penerus. Jangan seperti layang-layang putus, yang tak berkesudahan. Tak tahu titik berhenti. Kalau tak mampu belajar dari mereka tak perlu memaksakan diri memikul amanah yang tak mampu dipikul. Apalah guna jadi legislator jika bikin banyak orang susah. Lalu berbuntut pada terseretnya kita ke kursi pesakitan. Lebih baik jadi orang biasa saja. Siapa tahu berkah. Wallahu a’lam
MEREKALAH YANG BERIDUL FITRI
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Unhas

Beberapa saat lagi, kita akan merayakan hari raya idul fitri. Hari raya kemenangan bagi kaum muslim yang berjuang dibulan ramadhan. Takbir, tahmid, dan tasbih terdengar ke atas penjuru langit. Baik di kota maupun di desa, di gunung maupun di lembah, di perumahan mewah maupun perumahan kumuh.
Sebagai pendidik, penulis mengibaratkan bulan ramadhan sebagai ujian akhir sekolah dan idul fitri sebagai hari pengumuman kelulusan sekaligus pembagian ijasah tanda kelulusan.
Sebagaimana lazimnya suatu ujian, tentulah ada peserta ujian yang dinyatakan lulus, namun tidak sedikit pula peserta ujian yang dinyatakan tidak lulus. Bagi mereka yang dinyatakan lulus ujian, akan diberikan ijasah sebagai bukti tertulis atas kelulusannya dan biasanya diserahkan pada hari yang telah ditentukan oleh panitia pelaksana ujian.
Ada perbedaan mendasar antara penerimaan ijasah pada ujian akhir sekolah dengan penerimaan ijasah ujian bulan ramadhan (idul fitri). Jika pada ujian sekolah, peserta ujian yang dinyatakan lulus, sudah dapat diketahui secara pasti karena ada daftarnya. Sementara ujian ramadhan, peserta yang dinyatakan lulus belum diketahui secara pasti karena tidak ada daftar kelulusan.
Ketiaaan daftar kelulusan itulah yang menyebabkan umat muslim sangat antusias merayakan idul fitri. Mereka tidak peduli apakah saat ramadhan amalnya baik atau tidak. Mereka tetap berharap bisa mendapat ijasah di hari idul fitri. Namun sangat disayangkan karena tidak semua yang datang merayakan idul fitri berhak mendapat gelar “beridul fitri”.
Jika demikian masalahnya, maka pertanyaan mendasar dalam masalah ini adalah siapa sesungguhnya yang “beridul fitri” pada 1 syawal?
Berdasarkan al-qur’an dan hadis nabi, diperoleh informasi bahwa yang beridul fitri itu antara lain:
Pertama, mereka yang kembali kepada kesucian. Dan suci itu, menurut Quraish Shihab adalah gabungan dari tiga hal yaitu indah, benar, dan baik. Mencari keindahan akan menghasilkan seni. Mencari kebaikan akan menghasilkan etika. Dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu.
Mereka yang ber-idul fitri disini adalah mereka yang menuju tempat idul fitri dengan berpakaian indah, dan indah itu tidak identik dengan yang mahal dan mewah. Memamerkan kemewahan ditengah-tengah orang susah(apalagi jika pakaian hasil korupsi) tentulah perilaku yang tidak etis sehingga pemakainya tidak ber-idul fitri.
Menggunakan fasilitas Negara (untuk kepentingan pribadi) menuju tempat idul fitri merupakan perbuatan yang tidak benar sehingga pelakunya tidak masuk kategori ber-idul fitri.
Kembali kepada kesucian juga bermakna bahwa manusia kembali menjadi suci tanpa dosa. Bagi siapa saja yang berhasil melewati ujian berat selama ramadhan, dijanjikan oleh Allah swt akan diampuni segala dosanya dan dibebaskan dari azab neraka. Bahkan lebih dari itu, Allah swt akan mengembalikan manusia kepada kesucian primordial yaitu fitrah kemanusiaan yang bersifat azasi.
Kembali kepada kesucian merupakan puncak pencapaian spritualitas yang sangat didambakan dan membahagiakan setiap muslim. Kembali kepada kesucian berarti kita memperoleh penyucian jiwa yang selama 11 bulan terlumuri oleh berbagai kotoran dan noda yang telah mereduksi nilai kemanusiaan kita. Kembali kepada kesucian membuat manusia terbebas dari segala belenggu nafsu duniawi yang acapkali membuat manusia melupakan Allah swt.
Lalu sampai kapan kesucian ini akan bertahan?,tentu sampai dengan tingkat kemampuan manusia untuk memegang teguh prasayarat diterimanya taubat, yaitu menyesali kesalahan, mengakui kesalahan, tidak mengulangi kesalahan dan mengganti kesalahan yang pernah dilakukan dengan melakukan kebaikan, baik yang sifatnya kebaikan kepada Allah swt, maupun kebaikan kepada sesama manusia.
Kedua, mereka yang kembali seperti saat kelahirannya. Waktu kita bayi, selain kita suci dari dosa dan noda. Kita juga memandang segala sesuatu dengan pandangan yang indah, tanpa ada curiga dan prasangka. Ini berarti bahwa yang beridul fitri adalah mereka yang damai karena tidak ada penyakit curiga dan prasangka di hatinya. Anda tidak akan beridul fitri jika anda datang ke lapangan lalu di hati anda masih ada prasangka buruk terhadap orang lain.
Di masa pilkada seperti sekarang, banyak orang yang datang ke tempat idul fitri sementara dihatinya bercokol prasangka buruk terhadap lawan politiknya. Bahkan ada yang sampai melakukan fitnah ditempat idul fitri, mereka ini pastilah tidak beridul fitri.
Ketiga, mereka yang mengagungkan nama Allah. Maksudnya adalah mereka meletakkan dirinya dihadapan Allah sebagai hamba yang lemah. Ini berarti bahwa idul fitri tidak dijadikan sebagai waktu untuk mengajak seseorang memakan sesuatu yang melanggar ajaran agama. Ada orang (mudah-mudahan tidak banyak), di hari idul fitri, dia menyiapkan makanan dan minuman yang haram. Tentu bukan haram dari segi materinya, tapi makanan tersebut diperoleh dengan cara haram seperti riba, korupsi, menipu, hasil proyek fiktif atau cara lain yang melanggar agama.
Keempat, mereka yang mensyukuri nikmat Allah. Syukur menurut sementara para pakar adalah memanfaatkan nikmat tersebut secara proporsional serta menafkahkan sebagian nikmat tersebut dijalan agama Allah.
Ada orang di hari idul fitri menyiapkan makanan dan minuman tidak proporsional sehingga berlebih-lebihan dalam penyajiannya. Dia melupakan orang-orang lemah yang berada di sekitarnya. Dengan berbuat seperti itu dia tidak lagi ber-idul fitri. Ada sekian banyak orang yang tidak mampu membeli pakaian baru, sementara ada sekian banyak pula orang yang memiliki pakaian lama yang tidak dipakainya lagi. Jika orang yang berlebih ini ingin mensyukuri nikmat, antara lain dengan memberikan pakaian itu kepada orang orang yang tak punya. Pemberian itulah yang membuat si pemberi benar benar ber-idul fitri.
Kelima, mereka yang memiliki tenggang rasa. Di hari idul fitri (terutama malam takbiran), biasanya ada pesta, dan memang tidak dilarang sejauh pesta tersebut ada tenggang rasa didalamnya. Maaf, terkadang ada diantara kita melaksanakan takbiran dimalam hari hingga larut malam. Disatu sisi takbiran itu baik, tapi disisi lain berilah kesempatan bagi orang lain untuk menikmati tidur malam, untuk istirahat, dan agama mengajarkan antara lain “tidak mengusik ketenangan orang lain”.
Seharusnya puasa yang dijalankan selama sebulan penuh berkolerasi positif terhadap peningkatan tenggang rasa. Orang yang lapar seharusnya lebih peka terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain. Ini berarti bahwa lapar itu dapat menumbuhkan jiwa penolong dan solidaritas social.
Salah satu dari aplikasi tenggang rasa tersebut adalah pada saat mengeluarkan zakat, seharusnya si pemberi zakat tidak mempermalukan, apalagi sampai menghina si penerima zakat. Untuk itu si pemberi seharusnya mengunjungi si penerima agar si penerima tidak malu muka di depan umum.
Memberi zakat secara terbuka di depan umum, seperti yang dilakukan para politisi menjelang pemilu, bukannya dilarang, tapi cenderung dinilai “mau dikata” dan menimbulkan kesan “pameran kemiskinan”.
Keenam, mereka yang istiqamah (tetap teguh) memelihara amaliah ramadhannya. Amaliah ramadhan yang patut kita jaga diantaranya. Selama ramadhan kita rajin solat berjamah, jadi jika ingin ber-idul fitri maka setelah ramadhanpun solat berjamaah di masjid tetap kita lakoni.
Selama ramadhan, kita rutin melakukan tadarrus al-qur’an, bahkan tak jarang ada yang seperti mengejar target dalam membacanya sampai hatam berkali-kali. Masih kebiasaan tersebut mewarnai keseharian kita pasca ramadhan. Jika masih, berarti kita telah ber-idul fitri.
Selama ramadhan, kita sangat bersemangat menunaikan ibadah puasa. Bahkan tiada hari tanpa puasa. Ber-idul fitri lah dengan menyambungnya puasa sunnah senin dan kamis setelah ramadhan.
Selama ramadhan kita rajin melaksanakan qiyamullail (tahajjud) bahkan disempurnakan dengan beri’tikaf di masjid-masjid. Semoga setelah ramadhan amal mulia yang sangat tinggi derajatnya di sisi Allah tersebut tetap menjadi kebiasaan kita.
Amal kebaikan tersebut jangan berhenti sebatas ramadhan saja, tapi jadikanlah sebagai pemantik semangat untuk meningkatkan ibadah pribadi dan ibadah social setalah ramadhan.
Ketujuh, mereka yang memaafkan orang lain. Kata maaf berasal dari al-afwu yang artinya sikap member ampun terhadap kesalahan orang lain tanpa ada rasa benci, sakit hati, atau balas dendam. Allah swt sendiri menyebut diri-Nya sebagai afuwwun yang artinya pemaaf. “Jika kamu melahirkan suatu kebajikan, atau menyembunyikan, atau memaafkan sesuatu kesalahn orang lain, maka sesungguhnya Allah Maha pemaaf lagi Mahakuasa (QS.An-nisa:149)
Muslim yang menuju tempat perayaan idul fitri sementara dalam hatinya masih ada dendam, sakit hati, apalagi sampai berniat balas dendam kepada sesamanya maka sesungguhnya dia ikut merayakan idul fitri tanpa ada kemenangan disisinya.
Mudah-mudahan perayaan idul fitri kali ini, penulis, anda, dan kita semua termasuk golongan orang-orang yang betul-betul ber-idul fitri. Bukan golongan orang-orang yang pergi melaksanakan idul fitri sekedar ikut meramaikan saja.
Di hari idul fitri, betapa banyak orang yang menuju ketempat penerimaan ijasah, dan setelah tiba ditempat tersebut ternyata namanya tidak masuk dalam daftar penerima ijasah. Semoga kita terhindar dari kerugian tersebut. Wallahu A’lam.