Minggu, 24 Agustus 2008

pemimpin pilihan umat

PEMIMPIN PILIHAN UMAT
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Unhas

Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak bisa dipungkiri bahwa pemimpin yang telah berhasil memimpin ummatnya menuju kejayaan dan peradaban yang mulia adalah para Nabi dan Rasul pilihan Allah. Sejarah membuktikan bahwa berkat kepemimpinan para Nabi dan Rasul tersebutlah sehingga generasi sekarang juga dapat mengenal peradaban.
Mendekati pergantian kepala pemerintahan Kota Makassar, kelompok kepentingan dan partai politik mulai menjalankan strateginya. Kegiatannya terfokus pada penentuan siapa yang layak untuk menjadi pemimpin di Kota Makassar.
Diskusipun digelar untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pemilihan Walikota., dan biasanya orang mulai ribut ketika pembahasan tiba pada tahap format pemilihan dan kriteria calon. Keributan pada tahap format pemilihan (langsung atau tidak langsung) tentu disebabkan kekhawatiran terjadinya politik uang jika pemilihannya diserahkan hanya segelintir orang yang duduk diparlemen. Kelompok pendukung reformasi khawatir akan terjadi jual beli suara dalam pemilihan Walikota dengan sistem perwakilan di parlemen.
Sedangkan pada tahap penentuan kriteria, keributan dipicu pada keinginan orang untuk membuat dan menentukan kriteria sesuai dengan calonnya. Sekiranya kriteria dianggap menghadang calonnya, maka orang akan berusaha menggugurkan kriteria tersebut. Disinilah kelompok proreformasi dan anti reformasi biasanya mengalami konflik kepentingan, dan tidak jarang terjadi gaya-gaya premanisme dalam konflik tersebut.
Menentukan kriteria memang merupakan pekerjaan yang tidak gampang karena sangat sulit mencari rujukan konsep dan teori yang bisa diterima dan mewakili aspirasi seluruh kelompok kepentingan. Kadangkala teori yang dijadikan rujukan dalam menentukan kriteria sifatnya sangat konseptual sehingga sulit dilaksanakan di lapangan. Ini tentu dapat dimaklumi karena yang membuat teori adalah manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan.
Jika demikian, maka dalam menentukan kriteria calon pemimpin, sebaiknya kita merujuk kepada konsep yang telah dibuat oleh zat yang tidak memiliki keterbatasan, yaitu Allah swt, dan Alhamdulillah kriteria itu dapat dijumpai dalam kitab suci Alqur’an.
Alqur’an memberi petunjuk secara tersurat atau tersirat dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, termasuk upaya menjawab pertanyaan yang lagi diributkan oleh masyarakat Kota Makassar: “Siapakah yang layak kita pilih untuk memimpin Kota Makassar?”.
Dalam celah ayat-ayat Alqur’an ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi terpercaya.”, demikian penegasan Allah yang diabadikan dalam Alqur’an surah Al Qashash ayat 26. Di ayat lain, Allah juga mengabadikan suatu contoh pengangkatan seorang pejabat negara, sebagai kepala bidang logistik kerajaan Mesir, yaitu Nabi Yusuf, as, yang pengangkatannya juga berdasarkan kedua sifat kuat dan terpercaya tadi. Raja Kerajaan Mesir saat itu memilih Nabi Yusuf, as dengan pertimbangan “Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami adalah seorang yang kuat lagi terpercaya (QS. 12:54). Bahkan Allah SWT memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain karena malaikat ini memiliki sifat kuat lagi terpercaya (QS. 82:19-21).
Dari ayat di atas secara terang-terangan Allah memberikan sifat yang sekaligus menjadi kriteria dalam menentukan siapa orang bisa diangkat menjadi pemimpin. Sifat dan kriteria itu adalah KUAT lagi JUJUR atau terpercaya.
Sifat kuat dan jujur di sini memang masih sangat abstrak, tapi dapat menjadi jelas ketika mufassir bersepakat bahwa kriteria orang kuat yang dimaksud adalah kuat secara fisik (sehat jasmani), serta kuat karena didukung oleh mayoritas umat.
Mayoritas umat akan memberikan dukungan kepada seseorang yang memiliki sifat jujur lagi terpercaya. Masyarakat beriman sangat alergi dengan pemimpin yang memiliki sifat tidak jujur lagi tidak terpercaya. Kadang kala didengar orang berkata “kejujuran itu kan abstrak dan tidak bisa diukur”. Kata ini mungkin ada benarnya, namun setidaknya kejujuran seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain adalah gaya hidupnya. Jika seseorang bergaya hidup mewah dan kemewahan yang dipertontonkan, secara logis tidak sesuai dengan pendapatannya, maka orang tersebut cenderung tidak jujur dalam menjalankan amanah atau jabatan yang didudukinya. Orang tersebut cenderung memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan atau kelompoknya. Dan fenomena disekeliling kita menunjukkan bahwa perilaku seperti ini justru mendominasi para pelaksana negara. Wajarlah jika survey membuktikan bahwa negara kita menempati peringkat pertama dalam hal korupsi.
Selain itu, kejujuran seseorang juga dapat di lihat dari segi kemampuan orang tersebut menjalankan amanah yang diberikan. Amanah itu sendiri menurut Rasulullah yang salah satu artinya adalah kemampuan atau keahlian dalam jabatan yang akan dipangku. “Amanah terabaikan dan kehancuran akan tiba bila jabatan diberikan kepada orang yang tidak mampu”, demikian penegasan Rasulullah.
Mengabaikan amanah satu diantaranya adalah memberikan jabatan kepada orang yang tidak layak memangku jabatan tersebut. Dan salah satu faktor yang berkorelasi dengan kemampuan dalam memangku jabatan adalah korabolasi antara sifat kuat dengan jujur.
Tidak mudah memang mendapat orang yang menghimpun kedua sifat tersebut, tetapi jika kita terpaksa harus memilih maka pilihlah orang yang paling sedikit kekurangannya serta dilakukan dengan upaya yang bersungguh-sungguh.
Setiap kita boleh saja bahkan memiliki hak untuk menetapkan pertimbangan dan kriteria seorang yang layak untuk dipilih jadi pemimpin, terutama anggota legislatif. Tetapi sebelum menetapkan pilihan maka camkanlah baik-baik sabda Rasulullah: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk suatu jabatan yang berkaitan dengan masyarakat sedangkan dia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan kaum Muslim.” WALLAHU A’LAM.

yang layak jadi pemimpin

PILKADA: Nikmat atau Musibah !
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Masyarakat Kota Makassar, belum pernah memilih Walikota secara langsung. Barulah tahun ini, tahun 2008, masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih sendiri (langsung) kepala pemerintahan atau walikota. Sejak periode orde lama hingga periode orde baru, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih walikota, masyarakat hanya menerima apa yang telah dipilih oleh anggota legislatif yang duduk di gedung DPRD.
Dalam konsep agama islam ada dua jenis pemberian Allah kepada Hamba-NYA, pertama disebut nikmat yaitu pemberian Allah yang mana pemberian tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berikutnya ada juga pemberian Allah yang tidak kita inginkan. Pemberian jenis kedua ini, dalam konsep islam disebut musibah atau bencana.
Dari sekian banyak nikmat Allah, Pilkada, merupakan salah satu diantaranya karena memilih Walikota secara langsung merupakan suatu keinginan yang sudah lama diidam-idamkann.
Karena pilkada merupakan nikmat Allah, maka masyarakat harus menyikapinya secara tepat dan tidak boleh menyia-nyiakan nikmat tersebut. Jika salah menyikapi, maka nikmat Pilkada tersebut tidak memberikan perubahan signifikan kearah yang lebih sempurna, akan tetapi pilkada tersebut justru akan mengarah kepada kerusakan yang lebih parah. Asumsi ini didasari oleh ketetapan Allah dalam Al-Qur’an yaitu “Apabila engkau mensyukuri nikmat yang Aku (Allah) berikan, maka Aku (Allah) akan tambah nikmat tersebut, akan tetapi jika engkau mengkufuri nikmat yang aku (Allah) berikan maka ketahuilah bahwa sesunggunya azab-KU sangat pedih”
Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa nikmat Allah bisa saja berubah menjadi azab atau siksa. Semua tergantung cara manusia menyikapi nikmat tersebut. Demikian halnya dengan nikmat Pilkada, jika masyarakat kota Makassar menyikapinya dengan tepat, maka nikmat Pilkada akan ditambah oleh Allah dan tambahan itu berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat serta perubahan kearah yang lebih baik.
Sebaliknya, jika masyarakat kota Makassar salah dalam menyikapi nikmat Pilkada, maka nikmat Pilkada akan berubah menjadi azab atau siksa, baik dikehidupan sekarang maupun dalam kehidupan alam akhirat kelak.
Azab dunia bisa berupa terpilihnya pemimpin yang rusak dan merusak tatanan masyarakat. Pemimpin yang bergumul dengan kemewahan ditengah-tengah masyarakat busung lapar. Pemimpin yang membolak-balikkkan nilai kehidupan, dimana mengharamkan sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram. dan pada akhirnya amanat UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera semakin jauh dari kenyataan.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara mensyukuri nikmat Pilkada? Jawabannya antara lain adalah melaksanakan proses pilkada dengan sebaik-baiknya.
Rasa syukur itu dapat diwujudkan dengan memaksimalkan fungsi dari seluruh eleman masyarakat dalam menyukseskan Pilkada.
Sebagai lembaga yang dipercaya untuk menyelenggarakan pelaksanaan pilkada, KPU harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini harus menjadi penyelenggara sesuai amat peraturan perundang-undangan.
Jika KPU lalai dalam menjalankan tugasnya, maka akan berakibat pada terjadinya konflik sosial berkepanjangan.
Peran Panwaslu tidak kalah pentingnnya oleh KPU. Sebagai pengawas, lembaga ini, juga harus menjalankan tugas pengawasan dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karenanya ia harus dikelola oleh orang yang berintegritas tinggi, serta tahan godaan harta, tahta dan wanita, dan biasanya fungsi pengawasan menjadi longgar apabila dihadapkan dengan tiga perangkap setan tersebut.
Sama halnya dengan KPU dan Panwaslu, Media Massa, juga harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Fungsi penting tersebut antara lain dengan menyebarluaskan informasi dan berita yang proporsional. Informasi dan berita yang diturunkan harus tetap mengedepankan kemaslahatan. Karenanya, berita yang bersifat sensasi dan tendensius, apalagi berbau fitnah, sangat diharamkan dalam peliputan. Dan semua itu bisa terjadi apabila seorang jurnalis menjunjung tinggi kode etik profesi mereka. Jurnalis harus menyadari bahwa, ada kalanya berita harus diabaikan demi mewujudkan kemaslahatan. Ada kalanya fakta di lapangan harus diabaikan apabila fakta tersebut berdampak pada kehancuran massal.
Peranan tim sukses dan relawan, juga sangat besar dalam mewujudkan pilkada “sehat”. Tim sukses dan relawan tidak boleh menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan. Mereka harus meraih kemenangan secara terhormat dengan mengedepankan sportivitas.
Sangat disayangkan karena ada fenomena bahwa kelihatannya tim sukses dan relawan kecenderungannya mulai saling menyerang. Indikasi kearah tersebut bisa kita lihat pada penyampaian slogan dan kalimat dispanduk ataupun baliho para calon.
Betapapun, pada akhirnya PEMILIH jugalah yang menentukan berhasil tidaknya proses pilkada. Bagaimanapun baiknya pelaksanaan aturan pilkada, jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya secara baik, maka pilkada belum bisa dikatakan berhasil dan sukses. Secara umum, bisa dikatakan bahwa bagaimanapun, pemilih jugalah yang memegang peran penting dalam menyukseskan pilkada. Ukuranya tentu bukan saja pada aman dan terkendalinya proses pilkada, tetapi yang paling penting adalah berhasilnya masyarakat memilih seorang pemimpin yang betul-betul pemimpin, yakni pemimpin yang mampu mengantar dan mempercepat terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan dibawah naungan ridha Allah swt.
Perlu disadari bahwa apabila masyarakat diberikan nikmat berupa kesempatan memilih langsung pemimpinnya, lalu kesempatan tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk memilih pemimpin sesuai dengan kriteria tuntunan agama, maka pilkada tersebut telah menjadi nikmat, karena pemimpinnya memudahkan mereka meraih kesuksesan dunia dan semakin mendekatkan mereka kepada nilai kebenaran.
Sebaliknya, jika pemilih menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam arti memilih pemimpin tidak sesuai dengan kriteria agama, memilih pemimpin berdasarkan kedekatan individual, mengedepankan kenikmatan sesaat berupa money politic, maka pilkada bukan lagi berupa nikmat, akan tapi awal dari sebuah bencana. Dia menjadi bencana karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak berkompoten. Pemimpin yang tidak mencintai mereka.
Bahkan bisa jadi pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang selama masa jabatannya hanya disibukkan dengan urusan bagaimana mengembalikan dana kampanye, serta balas budi terhadap tim sukses dan relawan yang berjasa dalam memenangkannya. Proyek dijalankan tidak mengedepankan sistem tender, akan tetapi dijalankan dengan sistem arisan.
Orientasi program kerjanya adalah proyek yang memakmurkan diri, keluarga dan konconya, bukan pada kemaslahatan masyarakat secara umum. Pemimpin yang membolak balikkan nilai dan norma, yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dijadikan ma’ruf. Dan awal dari semua itu adalah kekufuran pemilih dalam memanfaatkan kesempatan memilih pemimpian.
Sebelum bencana itu terjadi, kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan pilkada tersebut menjadi sebuah nikmat, tentu dengan cara pilihlah pemimpin yang betul-betul pemimpin dan memiliki kompetensi. Ada baiknya pada hari H kelak, kaum muslim mengamalkan doa yang diajarkan rasulullah dalam memilih pemimpin. Dalam bilik suara kelak, berdoalah: “Ya Allah berilah kami pemimpin yang hanya takut kepada-Mu dan mencintai kami”. Lalu cobloslah pemimpin pilihan anda, dengan tetap meyakini bahwa semua pilihan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.

yang layak jadi pemimpin

PILKADA: Nikmat atau Musibah !
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Masyarakat Kota Makassar, belum pernah memilih Walikota secara langsung. Barulah tahun ini, tahun 2008, masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih sendiri (langsung) kepala pemerintahan atau walikota. Sejak periode orde lama hingga periode orde baru, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih walikota, masyarakat hanya menerima apa yang telah dipilih oleh anggota legislatif yang duduk di gedung DPRD.
Dalam konsep agama islam ada dua jenis pemberian Allah kepada Hamba-NYA, pertama disebut nikmat yaitu pemberian Allah yang mana pemberian tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berikutnya ada juga pemberian Allah yang tidak kita inginkan. Pemberian jenis kedua ini, dalam konsep islam disebut musibah atau bencana.
Dari sekian banyak nikmat Allah, Pilkada, merupakan salah satu diantaranya karena memilih Walikota secara langsung merupakan suatu keinginan yang sudah lama diidam-idamkann.
Karena pilkada merupakan nikmat Allah, maka masyarakat harus menyikapinya secara tepat dan tidak boleh menyia-nyiakan nikmat tersebut. Jika salah menyikapi, maka nikmat Pilkada tersebut tidak memberikan perubahan signifikan kearah yang lebih sempurna, akan tetapi pilkada tersebut justru akan mengarah kepada kerusakan yang lebih parah. Asumsi ini didasari oleh ketetapan Allah dalam Al-Qur’an yaitu “Apabila engkau mensyukuri nikmat yang Aku (Allah) berikan, maka Aku (Allah) akan tambah nikmat tersebut, akan tetapi jika engkau mengkufuri nikmat yang aku (Allah) berikan maka ketahuilah bahwa sesunggunya azab-KU sangat pedih”
Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa nikmat Allah bisa saja berubah menjadi azab atau siksa. Semua tergantung cara manusia menyikapi nikmat tersebut. Demikian halnya dengan nikmat Pilkada, jika masyarakat kota Makassar menyikapinya dengan tepat, maka nikmat Pilkada akan ditambah oleh Allah dan tambahan itu berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat serta perubahan kearah yang lebih baik.
Sebaliknya, jika masyarakat kota Makassar salah dalam menyikapi nikmat Pilkada, maka nikmat Pilkada akan berubah menjadi azab atau siksa, baik dikehidupan sekarang maupun dalam kehidupan alam akhirat kelak.
Azab dunia bisa berupa terpilihnya pemimpin yang rusak dan merusak tatanan masyarakat. Pemimpin yang bergumul dengan kemewahan ditengah-tengah masyarakat busung lapar. Pemimpin yang membolak-balikkkan nilai kehidupan, dimana mengharamkan sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram. dan pada akhirnya amanat UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera semakin jauh dari kenyataan.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara mensyukuri nikmat Pilkada? Jawabannya antara lain adalah melaksanakan proses pilkada dengan sebaik-baiknya.
Rasa syukur itu dapat diwujudkan dengan memaksimalkan fungsi dari seluruh eleman masyarakat dalam menyukseskan Pilkada.
Sebagai lembaga yang dipercaya untuk menyelenggarakan pelaksanaan pilkada, KPU harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini harus menjadi penyelenggara sesuai amat peraturan perundang-undangan.
Jika KPU lalai dalam menjalankan tugasnya, maka akan berakibat pada terjadinya konflik sosial berkepanjangan.
Peran Panwaslu tidak kalah pentingnnya oleh KPU. Sebagai pengawas, lembaga ini, juga harus menjalankan tugas pengawasan dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karenanya ia harus dikelola oleh orang yang berintegritas tinggi, serta tahan godaan harta, tahta dan wanita, dan biasanya fungsi pengawasan menjadi longgar apabila dihadapkan dengan tiga perangkap setan tersebut.
Sama halnya dengan KPU dan Panwaslu, Media Massa, juga harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Fungsi penting tersebut antara lain dengan menyebarluaskan informasi dan berita yang proporsional. Informasi dan berita yang diturunkan harus tetap mengedepankan kemaslahatan. Karenanya, berita yang bersifat sensasi dan tendensius, apalagi berbau fitnah, sangat diharamkan dalam peliputan. Dan semua itu bisa terjadi apabila seorang jurnalis menjunjung tinggi kode etik profesi mereka. Jurnalis harus menyadari bahwa, ada kalanya berita harus diabaikan demi mewujudkan kemaslahatan. Ada kalanya fakta di lapangan harus diabaikan apabila fakta tersebut berdampak pada kehancuran massal.
Peranan tim sukses dan relawan, juga sangat besar dalam mewujudkan pilkada “sehat”. Tim sukses dan relawan tidak boleh menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan. Mereka harus meraih kemenangan secara terhormat dengan mengedepankan sportivitas.
Sangat disayangkan karena ada fenomena bahwa kelihatannya tim sukses dan relawan kecenderungannya mulai saling menyerang. Indikasi kearah tersebut bisa kita lihat pada penyampaian slogan dan kalimat dispanduk ataupun baliho para calon.
Betapapun, pada akhirnya PEMILIH jugalah yang menentukan berhasil tidaknya proses pilkada. Bagaimanapun baiknya pelaksanaan aturan pilkada, jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya secara baik, maka pilkada belum bisa dikatakan berhasil dan sukses. Secara umum, bisa dikatakan bahwa bagaimanapun, pemilih jugalah yang memegang peran penting dalam menyukseskan pilkada. Ukuranya tentu bukan saja pada aman dan terkendalinya proses pilkada, tetapi yang paling penting adalah berhasilnya masyarakat memilih seorang pemimpin yang betul-betul pemimpin, yakni pemimpin yang mampu mengantar dan mempercepat terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan dibawah naungan ridha Allah swt.
Perlu disadari bahwa apabila masyarakat diberikan nikmat berupa kesempatan memilih langsung pemimpinnya, lalu kesempatan tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk memilih pemimpin sesuai dengan kriteria tuntunan agama, maka pilkada tersebut telah menjadi nikmat, karena pemimpinnya memudahkan mereka meraih kesuksesan dunia dan semakin mendekatkan mereka kepada nilai kebenaran.
Sebaliknya, jika pemilih menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam arti memilih pemimpin tidak sesuai dengan kriteria agama, memilih pemimpin berdasarkan kedekatan individual, mengedepankan kenikmatan sesaat berupa money politic, maka pilkada bukan lagi berupa nikmat, akan tapi awal dari sebuah bencana. Dia menjadi bencana karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak berkompoten. Pemimpin yang tidak mencintai mereka.
Bahkan bisa jadi pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang selama masa jabatannya hanya disibukkan dengan urusan bagaimana mengembalikan dana kampanye, serta balas budi terhadap tim sukses dan relawan yang berjasa dalam memenangkannya. Proyek dijalankan tidak mengedepankan sistem tender, akan tetapi dijalankan dengan sistem arisan.
Orientasi program kerjanya adalah proyek yang memakmurkan diri, keluarga dan konconya, bukan pada kemaslahatan masyarakat secara umum. Pemimpin yang membolak balikkan nilai dan norma, yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dijadikan ma’ruf. Dan awal dari semua itu adalah kekufuran pemilih dalam memanfaatkan kesempatan memilih pemimpian.
Sebelum bencana itu terjadi, kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan pilkada tersebut menjadi sebuah nikmat, tentu dengan cara pilihlah pemimpin yang betul-betul pemimpin dan memiliki kompetensi. Ada baiknya pada hari H kelak, kaum muslim mengamalkan doa yang diajarkan rasulullah dalam memilih pemimpin. Dalam bilik suara kelak, berdoalah: “Ya Allah berilah kami pemimpin yang hanya takut kepada-Mu dan mencintai kami”. Lalu cobloslah pemimpin pilihan anda, dengan tetap meyakini bahwa semua pilihan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.

pemimpin pilihan umat

PILKADA: Nikmat atau Musibah !
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Masyarakat Kota Makassar, belum pernah memilih Walikota secara langsung. Barulah tahun ini, tahun 2008, masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih sendiri (langsung) kepala pemerintahan atau walikota. Sejak periode orde lama hingga periode orde baru, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih walikota, masyarakat hanya menerima apa yang telah dipilih oleh anggota legislatif yang duduk di gedung DPRD.
Dalam konsep agama islam ada dua jenis pemberian Allah kepada Hamba-NYA, pertama disebut nikmat yaitu pemberian Allah yang mana pemberian tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berikutnya ada juga pemberian Allah yang tidak kita inginkan. Pemberian jenis kedua ini, dalam konsep islam disebut musibah atau bencana.
Dari sekian banyak nikmat Allah, Pilkada, merupakan salah satu diantaranya karena memilih Walikota secara langsung merupakan suatu keinginan yang sudah lama diidam-idamkann.
Karena pilkada merupakan nikmat Allah, maka masyarakat harus menyikapinya secara tepat dan tidak boleh menyia-nyiakan nikmat tersebut. Jika salah menyikapi, maka nikmat Pilkada tersebut tidak memberikan perubahan signifikan kearah yang lebih sempurna, akan tetapi pilkada tersebut justru akan mengarah kepada kerusakan yang lebih parah. Asumsi ini didasari oleh ketetapan Allah dalam Al-Qur’an yaitu “Apabila engkau mensyukuri nikmat yang Aku (Allah) berikan, maka Aku (Allah) akan tambah nikmat tersebut, akan tetapi jika engkau mengkufuri nikmat yang aku (Allah) berikan maka ketahuilah bahwa sesunggunya azab-KU sangat pedih”
Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa nikmat Allah bisa saja berubah menjadi azab atau siksa. Semua tergantung cara manusia menyikapi nikmat tersebut. Demikian halnya dengan nikmat Pilkada, jika masyarakat kota Makassar menyikapinya dengan tepat, maka nikmat Pilkada akan ditambah oleh Allah dan tambahan itu berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat serta perubahan kearah yang lebih baik.
Sebaliknya, jika masyarakat kota Makassar salah dalam menyikapi nikmat Pilkada, maka nikmat Pilkada akan berubah menjadi azab atau siksa, baik dikehidupan sekarang maupun dalam kehidupan alam akhirat kelak.
Azab dunia bisa berupa terpilihnya pemimpin yang rusak dan merusak tatanan masyarakat. Pemimpin yang bergumul dengan kemewahan ditengah-tengah masyarakat busung lapar. Pemimpin yang membolak-balikkkan nilai kehidupan, dimana mengharamkan sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram. dan pada akhirnya amanat UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera semakin jauh dari kenyataan.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara mensyukuri nikmat Pilkada? Jawabannya antara lain adalah melaksanakan proses pilkada dengan sebaik-baiknya.
Rasa syukur itu dapat diwujudkan dengan memaksimalkan fungsi dari seluruh eleman masyarakat dalam menyukseskan Pilkada.
Sebagai lembaga yang dipercaya untuk menyelenggarakan pelaksanaan pilkada, KPU harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini harus menjadi penyelenggara sesuai amat peraturan perundang-undangan.
Jika KPU lalai dalam menjalankan tugasnya, maka akan berakibat pada terjadinya konflik sosial berkepanjangan.
Peran Panwaslu tidak kalah pentingnnya oleh KPU. Sebagai pengawas, lembaga ini, juga harus menjalankan tugas pengawasan dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karenanya ia harus dikelola oleh orang yang berintegritas tinggi, serta tahan godaan harta, tahta dan wanita, dan biasanya fungsi pengawasan menjadi longgar apabila dihadapkan dengan tiga perangkap setan tersebut.
Sama halnya dengan KPU dan Panwaslu, Media Massa, juga harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Fungsi penting tersebut antara lain dengan menyebarluaskan informasi dan berita yang proporsional. Informasi dan berita yang diturunkan harus tetap mengedepankan kemaslahatan. Karenanya, berita yang bersifat sensasi dan tendensius, apalagi berbau fitnah, sangat diharamkan dalam peliputan. Dan semua itu bisa terjadi apabila seorang jurnalis menjunjung tinggi kode etik profesi mereka. Jurnalis harus menyadari bahwa, ada kalanya berita harus diabaikan demi mewujudkan kemaslahatan. Ada kalanya fakta di lapangan harus diabaikan apabila fakta tersebut berdampak pada kehancuran massal.
Peranan tim sukses dan relawan, juga sangat besar dalam mewujudkan pilkada “sehat”. Tim sukses dan relawan tidak boleh menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan. Mereka harus meraih kemenangan secara terhormat dengan mengedepankan sportivitas.
Sangat disayangkan karena ada fenomena bahwa kelihatannya tim sukses dan relawan kecenderungannya mulai saling menyerang. Indikasi kearah tersebut bisa kita lihat pada penyampaian slogan dan kalimat dispanduk ataupun baliho para calon.
Betapapun, pada akhirnya PEMILIH jugalah yang menentukan berhasil tidaknya proses pilkada. Bagaimanapun baiknya pelaksanaan aturan pilkada, jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya secara baik, maka pilkada belum bisa dikatakan berhasil dan sukses. Secara umum, bisa dikatakan bahwa bagaimanapun, pemilih jugalah yang memegang peran penting dalam menyukseskan pilkada. Ukuranya tentu bukan saja pada aman dan terkendalinya proses pilkada, tetapi yang paling penting adalah berhasilnya masyarakat memilih seorang pemimpin yang betul-betul pemimpin, yakni pemimpin yang mampu mengantar dan mempercepat terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan dibawah naungan ridha Allah swt.
Perlu disadari bahwa apabila masyarakat diberikan nikmat berupa kesempatan memilih langsung pemimpinnya, lalu kesempatan tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk memilih pemimpin sesuai dengan kriteria tuntunan agama, maka pilkada tersebut telah menjadi nikmat, karena pemimpinnya memudahkan mereka meraih kesuksesan dunia dan semakin mendekatkan mereka kepada nilai kebenaran.
Sebaliknya, jika pemilih menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam arti memilih pemimpin tidak sesuai dengan kriteria agama, memilih pemimpin berdasarkan kedekatan individual, mengedepankan kenikmatan sesaat berupa money politic, maka pilkada bukan lagi berupa nikmat, akan tapi awal dari sebuah bencana. Dia menjadi bencana karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak berkompoten. Pemimpin yang tidak mencintai mereka.
Bahkan bisa jadi pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang selama masa jabatannya hanya disibukkan dengan urusan bagaimana mengembalikan dana kampanye, serta balas budi terhadap tim sukses dan relawan yang berjasa dalam memenangkannya. Proyek dijalankan tidak mengedepankan sistem tender, akan tetapi dijalankan dengan sistem arisan.
Orientasi program kerjanya adalah proyek yang memakmurkan diri, keluarga dan konconya, bukan pada kemaslahatan masyarakat secara umum. Pemimpin yang membolak balikkan nilai dan norma, yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dijadikan ma’ruf. Dan awal dari semua itu adalah kekufuran pemilih dalam memanfaatkan kesempatan memilih pemimpian.
Sebelum bencana itu terjadi, kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan pilkada tersebut menjadi sebuah nikmat, tentu dengan cara pilihlah pemimpin yang betul-betul pemimpin dan memiliki kompetensi. Ada baiknya pada hari H kelak, kaum muslim mengamalkan doa yang diajarkan rasulullah dalam memilih pemimpin. Dalam bilik suara kelak, berdoalah: “Ya Allah berilah kami pemimpin yang hanya takut kepada-Mu dan mencintai kami”. Lalu cobloslah pemimpin pilihan anda, dengan tetap meyakini bahwa semua pilihan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.
PILKADA: Nikmat atau Musibah !
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Masyarakat Kota Makassar, belum pernah memilih Walikota secara langsung. Barulah tahun ini, tahun 2008, masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih sendiri (langsung) kepala pemerintahan atau walikota. Sejak periode orde lama hingga periode orde baru, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih walikota, masyarakat hanya menerima apa yang telah dipilih oleh anggota legislatif yang duduk di gedung DPRD.
Dalam konsep agama islam ada dua jenis pemberian Allah kepada Hamba-NYA, pertama disebut nikmat yaitu pemberian Allah yang mana pemberian tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berikutnya ada juga pemberian Allah yang tidak kita inginkan. Pemberian jenis kedua ini, dalam konsep islam disebut musibah atau bencana.
Dari sekian banyak nikmat Allah, Pilkada, merupakan salah satu diantaranya karena memilih Walikota secara langsung merupakan suatu keinginan yang sudah lama diidam-idamkann.
Karena pilkada merupakan nikmat Allah, maka masyarakat harus menyikapinya secara tepat dan tidak boleh menyia-nyiakan nikmat tersebut. Jika salah menyikapi, maka nikmat Pilkada tersebut tidak memberikan perubahan signifikan kearah yang lebih sempurna, akan tetapi pilkada tersebut justru akan mengarah kepada kerusakan yang lebih parah. Asumsi ini didasari oleh ketetapan Allah dalam Al-Qur’an yaitu “Apabila engkau mensyukuri nikmat yang Aku (Allah) berikan, maka Aku (Allah) akan tambah nikmat tersebut, akan tetapi jika engkau mengkufuri nikmat yang aku (Allah) berikan maka ketahuilah bahwa sesunggunya azab-KU sangat pedih”
Dari keterangan Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa nikmat Allah bisa saja berubah menjadi azab atau siksa. Semua tergantung cara manusia menyikapi nikmat tersebut. Demikian halnya dengan nikmat Pilkada, jika masyarakat kota Makassar menyikapinya dengan tepat, maka nikmat Pilkada akan ditambah oleh Allah dan tambahan itu berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat serta perubahan kearah yang lebih baik.
Sebaliknya, jika masyarakat kota Makassar salah dalam menyikapi nikmat Pilkada, maka nikmat Pilkada akan berubah menjadi azab atau siksa, baik dikehidupan sekarang maupun dalam kehidupan alam akhirat kelak.
Azab dunia bisa berupa terpilihnya pemimpin yang rusak dan merusak tatanan masyarakat. Pemimpin yang bergumul dengan kemewahan ditengah-tengah masyarakat busung lapar. Pemimpin yang membolak-balikkkan nilai kehidupan, dimana mengharamkan sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram. dan pada akhirnya amanat UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera semakin jauh dari kenyataan.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara mensyukuri nikmat Pilkada? Jawabannya antara lain adalah melaksanakan proses pilkada dengan sebaik-baiknya.
Rasa syukur itu dapat diwujudkan dengan memaksimalkan fungsi dari seluruh eleman masyarakat dalam menyukseskan Pilkada.
Sebagai lembaga yang dipercaya untuk menyelenggarakan pelaksanaan pilkada, KPU harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini harus menjadi penyelenggara sesuai amat peraturan perundang-undangan.
Jika KPU lalai dalam menjalankan tugasnya, maka akan berakibat pada terjadinya konflik sosial berkepanjangan.
Peran Panwaslu tidak kalah pentingnnya oleh KPU. Sebagai pengawas, lembaga ini, juga harus menjalankan tugas pengawasan dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karenanya ia harus dikelola oleh orang yang berintegritas tinggi, serta tahan godaan harta, tahta dan wanita, dan biasanya fungsi pengawasan menjadi longgar apabila dihadapkan dengan tiga perangkap setan tersebut.
Sama halnya dengan KPU dan Panwaslu, Media Massa, juga harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Fungsi penting tersebut antara lain dengan menyebarluaskan informasi dan berita yang proporsional. Informasi dan berita yang diturunkan harus tetap mengedepankan kemaslahatan. Karenanya, berita yang bersifat sensasi dan tendensius, apalagi berbau fitnah, sangat diharamkan dalam peliputan. Dan semua itu bisa terjadi apabila seorang jurnalis menjunjung tinggi kode etik profesi mereka. Jurnalis harus menyadari bahwa, ada kalanya berita harus diabaikan demi mewujudkan kemaslahatan. Ada kalanya fakta di lapangan harus diabaikan apabila fakta tersebut berdampak pada kehancuran massal.
Peranan tim sukses dan relawan, juga sangat besar dalam mewujudkan pilkada “sehat”. Tim sukses dan relawan tidak boleh menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan. Mereka harus meraih kemenangan secara terhormat dengan mengedepankan sportivitas.
Sangat disayangkan karena ada fenomena bahwa kelihatannya tim sukses dan relawan kecenderungannya mulai saling menyerang. Indikasi kearah tersebut bisa kita lihat pada penyampaian slogan dan kalimat dispanduk ataupun baliho para calon.
Betapapun, pada akhirnya PEMILIH jugalah yang menentukan berhasil tidaknya proses pilkada. Bagaimanapun baiknya pelaksanaan aturan pilkada, jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya secara baik, maka pilkada belum bisa dikatakan berhasil dan sukses. Secara umum, bisa dikatakan bahwa bagaimanapun, pemilih jugalah yang memegang peran penting dalam menyukseskan pilkada. Ukuranya tentu bukan saja pada aman dan terkendalinya proses pilkada, tetapi yang paling penting adalah berhasilnya masyarakat memilih seorang pemimpin yang betul-betul pemimpin, yakni pemimpin yang mampu mengantar dan mempercepat terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan dibawah naungan ridha Allah swt.
Perlu disadari bahwa apabila masyarakat diberikan nikmat berupa kesempatan memilih langsung pemimpinnya, lalu kesempatan tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk memilih pemimpin sesuai dengan kriteria tuntunan agama, maka pilkada tersebut telah menjadi nikmat, karena pemimpinnya memudahkan mereka meraih kesuksesan dunia dan semakin mendekatkan mereka kepada nilai kebenaran.
Sebaliknya, jika pemilih menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam arti memilih pemimpin tidak sesuai dengan kriteria agama, memilih pemimpin berdasarkan kedekatan individual, mengedepankan kenikmatan sesaat berupa money politic, maka pilkada bukan lagi berupa nikmat, akan tapi awal dari sebuah bencana. Dia menjadi bencana karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak berkompoten. Pemimpin yang tidak mencintai mereka.
Bahkan bisa jadi pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang selama masa jabatannya hanya disibukkan dengan urusan bagaimana mengembalikan dana kampanye, serta balas budi terhadap tim sukses dan relawan yang berjasa dalam memenangkannya. Proyek dijalankan tidak mengedepankan sistem tender, akan tetapi dijalankan dengan sistem arisan.
Orientasi program kerjanya adalah proyek yang memakmurkan diri, keluarga dan konconya, bukan pada kemaslahatan masyarakat secara umum. Pemimpin yang membolak balikkan nilai dan norma, yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dijadikan ma’ruf. Dan awal dari semua itu adalah kekufuran pemilih dalam memanfaatkan kesempatan memilih pemimpian.
Sebelum bencana itu terjadi, kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan pilkada tersebut menjadi sebuah nikmat, tentu dengan cara pilihlah pemimpin yang betul-betul pemimpin dan memiliki kompetensi. Ada baiknya pada hari H kelak, kaum muslim mengamalkan doa yang diajarkan rasulullah dalam memilih pemimpin. Dalam bilik suara kelak, berdoalah: “Ya Allah berilah kami pemimpin yang hanya takut kepada-Mu dan mencintai kami”. Lalu cobloslah pemimpin pilihan anda, dengan tetap meyakini bahwa semua pilihan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.