Kamis, 12 Juni 2008

FAJAR, Rabu, 6 November 2002

ADA APA DIBALIK PERPU ANTI-TERORIS ?
Oleh : Das’ad Latif

Ledakan bom di kota wisata Bali tidak hanya menyisakan korban jiwa sekitar 184 orang, tapi juga berbagai macam reaksi dan masalah baru yang tidak hanya datang dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Reaksi dari luar negeri yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Australia secara terang-terangan melakukan diplomasi politik kepada pemerintah Indonesia yang bertujuan agar pemerintah Indonesia melakukan tindakan nyata dalam menangani aksi terorisme yang menurut negara tadi telah tumbuh subur di Indonesia.
Bagaimana reaksi pemerintah terhadap diplomasi tadi? Fenomena menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hat ini Presiden Megawati Soekarnoputri, sangat responsif terhadap maksud dan keinginan pemerintah Amerika dan Australia. Pemerintah bahkan sangat bernafsu dalam melakukan penanganan tindakan-tindakan yang berbau teror.
Perwujudan upaya pemerintah dalam menangani gerakan teroris adalah dikeluarkannya kebijaksanaan pemerintah berupa Perpu Anti-Teroris. Pemerintah dengan penuh percaya diri memproklamirkan kepada publik bahwa cara ampuh untuk menghentikan gerakan teroris di tanah air adalah dengan memberlakukan perpu Anti-Terorisme.
Dalam kaitan ini, pemerintah melakukan berbagai aktivitas yang bertujuan untuk membangun opini yang mengarah kepada terbentuknya keyakinan bahwa kita tidak bisa mengatasi terorisme tanpa perpu. Seolah-olah pemerintah ingin mengkomunikasikan kepada seluruh warga negara bahawa jika anda ingin bebas dari incaran teroris maka anda harus mendukung pelaksanaan perpu Anti-Terorisme. Dengan kata lain pemerintah berusaha meyakinkan publik bahwa cara ampuh untuk melawan teroris adalah Perpu Anti-Teroris.
Keyakinan pemerintah terhadap keampuhan Perpu Anti-Teroris merupakan gerakan terorisme di tanah air, ternyata kurang mendapat dukungan masyarakat, terutama dari kalangan pro demokrasi, praktisi hukum, kalangan akademisi, LSM, bahkan ada juga mantan pejabat negara yang ikut melakukan perlawanan terhadap perpu tersebut. Sebutlah misalnya Muladi yang secara terang-terangan berkampanye agar kita menolak perpu anti terorisme.
Penolakan mereka sangat beralasan karena dalam perpu tersebut, pada pasal-pasal tertentu dinilai sangat bertentangan dengan HAM dan demokrasi yang selama ini terus diperjuangkan oleh kelompok pro reformasi.
Selain alasan utama tadi, juga ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sehingga perpu tersebut harus dikritisi, antara lain: Pertama, defenisi terorisme dalam perpu tersebut masih sangat abstrak dan dapat menimbulkan persepsi yang bermacam-macam. Penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Terorisme hanya didefenisikan dengan mengemukakan karakteristik dari terorisme yaitu segala tindakan yang dapat menimbulkan kecemasan masyarakat umum/sipil.
Mengacu pada abstraknya kalimat “menimbulkan kecaman umum” tentu mempunyai makna yang sangat luas, Apakah bentrok antar anggota TNI dan Polisi yang banyak terjadi akhir-akhir ini bisa digolongkan tindakan terorisme sebab menimbulkan kecemasan masyarakat umum. Bahkan, apakah Perpu Anti Terorisme itu sendiri tidak menimbulkan kecemasan di kalangan penganut agama tertentu, terutama kalangan Islam yang sering dicap Islam garis keras.
Kedua, dalam perpu anti terorisme ada pasal yang dinilai melanggar nilai-nilai kemanusiaan karena data, dari intelijen dapat dijadikan bahan atau alasan bagi pihak kepolisian untuk menahan seseorang. Kerancuan ini terbukti pada dengan membakar Ba’asyir yang ditahan hanya berdasarkan data CIA yang menyebutkan pengakuan Umar Al-Faruq pernah ketemu dengan sang Kiyai. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan dunia peradilan kita. Masa orde baru saja, yang dinilai sebagai rezim yang sangat otorirer, tidak menjadikan data intelijen sebagai..dasar penahanan terhadap seseorang.
Kelemahan-kelemahan tersebut harus segera disempurnakan oleh pemerintah agar perpu Anti-Terorisme mendapat dukungan dari masyarakat. Jika maka perpu ini akan melahirkan kesan bahwa kebijaksanaan pemerintah tersebut hanya untuk memuaskan “jurangan” Amerika Serikat. Buktinya, kasus Bali (maaf, tidak bermaksud mengurangi rasa duka) yang menewaskan kurang lebih 184 orang pemerintah langsung mengeluarkan kebijaksanaan se tingkat perpu. Sementara ribuan anak bangsa yang tewas di Ambon, Poso, dan Nunukan tidak dikeluarkan kebijaksanaan pemerintah se tingkat perpu. Apakah pemerintah lebih berkewajiban melindungi jiwa dan raga bangsa lain daripada bangsanya sendiri?. Atau apakah karena di Bali ada Dolar sementara di Ambon, Poso dan Nunukan hanya rupiah?.
Tuduhan miring lainnya adalah Perpu Anti- Teroris dinilai sebagai alat pemerintah memperluas kewenangan dalam melanggengkan kekuasaannya, termasuk mengikis habis lawan-lawan politiknya.
Lebih jauh dari itu bisa jadi perpu Anti-Terorisme dinilai sebagai sarana rezim yang berkuasa dalam memenangkan pemilu akan datang. Apabila ini terbukti kebenarannya, maka perpu Anti-Terorisme tidak akan mampu menangani gerakan teror, akan tetapi perpu Anti-Terorisme pasti akan menjadi bumerang bagi pemerintahan Megawati.
Jika demikian persoalannya, bagaimana cara menangani fenomena munculnya gerakan terorisme di tanah air? Diantaranya adalah mengoptimalkan pelaksanaan Undang-undang kriminal yang sudah ada. Daripada membuat perpu yang mendapat banyak perlawanan dari warga negara, tidakkah lebih baik pemerintah memaksimalkan penegakan peraturan tentang kriminal yang sudah ada, dimulai dengan memfungsikan secara maksimal aktor-aktor penegak hukum. Cara lain adalah meratifikasikan konfensi internasional tentang terorisme.
Sejalan dengan ini, kenyataan empiris menunjukkan bahwa ketiadaan Undang-undang Anti-Terorisme tidak serta merta menyebabkan negara ramai dengan aksi teror. Sebutlah misalnya negara Kanada, Perancis, Inggris dan Jerman yang tidak mempunyai undang-undang Anti-Terorisme tapi hingga kini negaranya bebas dari aksi terorisme. Mengapa demikian?, karena di negara tersebut para aktor penegak hukum betul-betul profesional dalam menegakkan hukum.
Mengakhiri tulisan ini penulis ingin menyampaikan dua hal. Pertama, tidak semua orang dirugikan oleh kasus Bom Bali. Ada segelintir orang yang mendapat angin segar setelah peledakan bom Bali. Antara lain Anggota DPR-RI yang terlibat suap dalam kasus Bank Niaga, Jaksa Agung dengan kasus rumah mewahnya yang tidak didaftar di KPKN, dan kasus lain yang sekarang ini lepas dari tekanan media / publik karena media / publik berkonsentrasi pada kasus peledakan Bom di Bali. Kedua, Kasus Bom Bali jangan sampai menguras seluruh perhatian dan energi kita karena ada agenda lain yang jauh lebih penting daripada itu yakni mewujudkan pemilu 2004 yang Luber dan Jurdil. Pemilu 2004 tidak boleh gagal karena merupakan momentum penting dalam mengawal perjalanan reformasi.

Das’ad Latif
Ketua Sentra Studi Isu-Isu Strategis Sulsel

Tidak ada komentar: