Kamis, 20 November 2008

MEREKALAH YANG BERIDUL FITRI
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Unhas

Beberapa saat lagi, kita akan merayakan hari raya idul fitri. Hari raya kemenangan bagi kaum muslim yang berjuang dibulan ramadhan. Takbir, tahmid, dan tasbih terdengar ke atas penjuru langit. Baik di kota maupun di desa, di gunung maupun di lembah, di perumahan mewah maupun perumahan kumuh.
Sebagai pendidik, penulis mengibaratkan bulan ramadhan sebagai ujian akhir sekolah dan idul fitri sebagai hari pengumuman kelulusan sekaligus pembagian ijasah tanda kelulusan.
Sebagaimana lazimnya suatu ujian, tentulah ada peserta ujian yang dinyatakan lulus, namun tidak sedikit pula peserta ujian yang dinyatakan tidak lulus. Bagi mereka yang dinyatakan lulus ujian, akan diberikan ijasah sebagai bukti tertulis atas kelulusannya dan biasanya diserahkan pada hari yang telah ditentukan oleh panitia pelaksana ujian.
Ada perbedaan mendasar antara penerimaan ijasah pada ujian akhir sekolah dengan penerimaan ijasah ujian bulan ramadhan (idul fitri). Jika pada ujian sekolah, peserta ujian yang dinyatakan lulus, sudah dapat diketahui secara pasti karena ada daftarnya. Sementara ujian ramadhan, peserta yang dinyatakan lulus belum diketahui secara pasti karena tidak ada daftar kelulusan.
Ketiaaan daftar kelulusan itulah yang menyebabkan umat muslim sangat antusias merayakan idul fitri. Mereka tidak peduli apakah saat ramadhan amalnya baik atau tidak. Mereka tetap berharap bisa mendapat ijasah di hari idul fitri. Namun sangat disayangkan karena tidak semua yang datang merayakan idul fitri berhak mendapat gelar “beridul fitri”.
Jika demikian masalahnya, maka pertanyaan mendasar dalam masalah ini adalah siapa sesungguhnya yang “beridul fitri” pada 1 syawal?
Berdasarkan al-qur’an dan hadis nabi, diperoleh informasi bahwa yang beridul fitri itu antara lain:
Pertama, mereka yang kembali kepada kesucian. Dan suci itu, menurut Quraish Shihab adalah gabungan dari tiga hal yaitu indah, benar, dan baik. Mencari keindahan akan menghasilkan seni. Mencari kebaikan akan menghasilkan etika. Dan mencari kebenaran menghasilkan ilmu.
Mereka yang ber-idul fitri disini adalah mereka yang menuju tempat idul fitri dengan berpakaian indah, dan indah itu tidak identik dengan yang mahal dan mewah. Memamerkan kemewahan ditengah-tengah orang susah(apalagi jika pakaian hasil korupsi) tentulah perilaku yang tidak etis sehingga pemakainya tidak ber-idul fitri.
Menggunakan fasilitas Negara (untuk kepentingan pribadi) menuju tempat idul fitri merupakan perbuatan yang tidak benar sehingga pelakunya tidak masuk kategori ber-idul fitri.
Kembali kepada kesucian juga bermakna bahwa manusia kembali menjadi suci tanpa dosa. Bagi siapa saja yang berhasil melewati ujian berat selama ramadhan, dijanjikan oleh Allah swt akan diampuni segala dosanya dan dibebaskan dari azab neraka. Bahkan lebih dari itu, Allah swt akan mengembalikan manusia kepada kesucian primordial yaitu fitrah kemanusiaan yang bersifat azasi.
Kembali kepada kesucian merupakan puncak pencapaian spritualitas yang sangat didambakan dan membahagiakan setiap muslim. Kembali kepada kesucian berarti kita memperoleh penyucian jiwa yang selama 11 bulan terlumuri oleh berbagai kotoran dan noda yang telah mereduksi nilai kemanusiaan kita. Kembali kepada kesucian membuat manusia terbebas dari segala belenggu nafsu duniawi yang acapkali membuat manusia melupakan Allah swt.
Lalu sampai kapan kesucian ini akan bertahan?,tentu sampai dengan tingkat kemampuan manusia untuk memegang teguh prasayarat diterimanya taubat, yaitu menyesali kesalahan, mengakui kesalahan, tidak mengulangi kesalahan dan mengganti kesalahan yang pernah dilakukan dengan melakukan kebaikan, baik yang sifatnya kebaikan kepada Allah swt, maupun kebaikan kepada sesama manusia.
Kedua, mereka yang kembali seperti saat kelahirannya. Waktu kita bayi, selain kita suci dari dosa dan noda. Kita juga memandang segala sesuatu dengan pandangan yang indah, tanpa ada curiga dan prasangka. Ini berarti bahwa yang beridul fitri adalah mereka yang damai karena tidak ada penyakit curiga dan prasangka di hatinya. Anda tidak akan beridul fitri jika anda datang ke lapangan lalu di hati anda masih ada prasangka buruk terhadap orang lain.
Di masa pilkada seperti sekarang, banyak orang yang datang ke tempat idul fitri sementara dihatinya bercokol prasangka buruk terhadap lawan politiknya. Bahkan ada yang sampai melakukan fitnah ditempat idul fitri, mereka ini pastilah tidak beridul fitri.
Ketiga, mereka yang mengagungkan nama Allah. Maksudnya adalah mereka meletakkan dirinya dihadapan Allah sebagai hamba yang lemah. Ini berarti bahwa idul fitri tidak dijadikan sebagai waktu untuk mengajak seseorang memakan sesuatu yang melanggar ajaran agama. Ada orang (mudah-mudahan tidak banyak), di hari idul fitri, dia menyiapkan makanan dan minuman yang haram. Tentu bukan haram dari segi materinya, tapi makanan tersebut diperoleh dengan cara haram seperti riba, korupsi, menipu, hasil proyek fiktif atau cara lain yang melanggar agama.
Keempat, mereka yang mensyukuri nikmat Allah. Syukur menurut sementara para pakar adalah memanfaatkan nikmat tersebut secara proporsional serta menafkahkan sebagian nikmat tersebut dijalan agama Allah.
Ada orang di hari idul fitri menyiapkan makanan dan minuman tidak proporsional sehingga berlebih-lebihan dalam penyajiannya. Dia melupakan orang-orang lemah yang berada di sekitarnya. Dengan berbuat seperti itu dia tidak lagi ber-idul fitri. Ada sekian banyak orang yang tidak mampu membeli pakaian baru, sementara ada sekian banyak pula orang yang memiliki pakaian lama yang tidak dipakainya lagi. Jika orang yang berlebih ini ingin mensyukuri nikmat, antara lain dengan memberikan pakaian itu kepada orang orang yang tak punya. Pemberian itulah yang membuat si pemberi benar benar ber-idul fitri.
Kelima, mereka yang memiliki tenggang rasa. Di hari idul fitri (terutama malam takbiran), biasanya ada pesta, dan memang tidak dilarang sejauh pesta tersebut ada tenggang rasa didalamnya. Maaf, terkadang ada diantara kita melaksanakan takbiran dimalam hari hingga larut malam. Disatu sisi takbiran itu baik, tapi disisi lain berilah kesempatan bagi orang lain untuk menikmati tidur malam, untuk istirahat, dan agama mengajarkan antara lain “tidak mengusik ketenangan orang lain”.
Seharusnya puasa yang dijalankan selama sebulan penuh berkolerasi positif terhadap peningkatan tenggang rasa. Orang yang lapar seharusnya lebih peka terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain. Ini berarti bahwa lapar itu dapat menumbuhkan jiwa penolong dan solidaritas social.
Salah satu dari aplikasi tenggang rasa tersebut adalah pada saat mengeluarkan zakat, seharusnya si pemberi zakat tidak mempermalukan, apalagi sampai menghina si penerima zakat. Untuk itu si pemberi seharusnya mengunjungi si penerima agar si penerima tidak malu muka di depan umum.
Memberi zakat secara terbuka di depan umum, seperti yang dilakukan para politisi menjelang pemilu, bukannya dilarang, tapi cenderung dinilai “mau dikata” dan menimbulkan kesan “pameran kemiskinan”.
Keenam, mereka yang istiqamah (tetap teguh) memelihara amaliah ramadhannya. Amaliah ramadhan yang patut kita jaga diantaranya. Selama ramadhan kita rajin solat berjamah, jadi jika ingin ber-idul fitri maka setelah ramadhanpun solat berjamaah di masjid tetap kita lakoni.
Selama ramadhan, kita rutin melakukan tadarrus al-qur’an, bahkan tak jarang ada yang seperti mengejar target dalam membacanya sampai hatam berkali-kali. Masih kebiasaan tersebut mewarnai keseharian kita pasca ramadhan. Jika masih, berarti kita telah ber-idul fitri.
Selama ramadhan, kita sangat bersemangat menunaikan ibadah puasa. Bahkan tiada hari tanpa puasa. Ber-idul fitri lah dengan menyambungnya puasa sunnah senin dan kamis setelah ramadhan.
Selama ramadhan kita rajin melaksanakan qiyamullail (tahajjud) bahkan disempurnakan dengan beri’tikaf di masjid-masjid. Semoga setelah ramadhan amal mulia yang sangat tinggi derajatnya di sisi Allah tersebut tetap menjadi kebiasaan kita.
Amal kebaikan tersebut jangan berhenti sebatas ramadhan saja, tapi jadikanlah sebagai pemantik semangat untuk meningkatkan ibadah pribadi dan ibadah social setalah ramadhan.
Ketujuh, mereka yang memaafkan orang lain. Kata maaf berasal dari al-afwu yang artinya sikap member ampun terhadap kesalahan orang lain tanpa ada rasa benci, sakit hati, atau balas dendam. Allah swt sendiri menyebut diri-Nya sebagai afuwwun yang artinya pemaaf. “Jika kamu melahirkan suatu kebajikan, atau menyembunyikan, atau memaafkan sesuatu kesalahn orang lain, maka sesungguhnya Allah Maha pemaaf lagi Mahakuasa (QS.An-nisa:149)
Muslim yang menuju tempat perayaan idul fitri sementara dalam hatinya masih ada dendam, sakit hati, apalagi sampai berniat balas dendam kepada sesamanya maka sesungguhnya dia ikut merayakan idul fitri tanpa ada kemenangan disisinya.
Mudah-mudahan perayaan idul fitri kali ini, penulis, anda, dan kita semua termasuk golongan orang-orang yang betul-betul ber-idul fitri. Bukan golongan orang-orang yang pergi melaksanakan idul fitri sekedar ikut meramaikan saja.
Di hari idul fitri, betapa banyak orang yang menuju ketempat penerimaan ijasah, dan setelah tiba ditempat tersebut ternyata namanya tidak masuk dalam daftar penerima ijasah. Semoga kita terhindar dari kerugian tersebut. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: