Kamis, 20 November 2008

SUDAH SIAPKAH DENGAN RESIKONYA
(sekedar renungan bagi Caleg)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Das’ad Latif
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin


Perhelatan pesta demokrasi di tanah air berupa pemilihan umum (pemilu) anggota legislatif tinggal menghitung bulan, para politisipun menyambutnya dengan berbagai persiapan. Mulai dari menampangkan diri di baleho hingga mengirim sms ke para karib kerabat yang isinya memohon dukungan dalam pemilu mendatang.
Penulis termasuk salah seorang yang sering mendapat telefon serta sms dari para caleg yang memohon doa restu penulis. Para karib tersebut menelfon meng-sms penulis mungkin salah satu pertimbangannya karena penulis seorang mubaliq yang memiliki beberapa kelompok majelis ta’lim.
Merespon telefon dan sms tersebut, penulis menyampaikan: “selama berpihak kepada rakyat, maka tentu bukan hanya penulis yang memilih anda, tapi juga orang lain yang properbaikanpun akan memilih anda”. Selain itu, penulis juga menyampaikan sebuah pertanyaan pendek, tapi sarat makna. “Sudah siapkah anda dengan segala resikonya”?.
Tulisan ini selain menjawab pertanyaan para penelfon, juga mengingatkan kembali kepada para caleg yang siap bertarung dalam pemilu mendatang. Tujuannya tentu bukan untuk menakuti, tapi lebih kepada agar para caleg setelah terpilih kelak dapat istiqamah dalam menjalankan amanah rakyat.
Pengalaman empiris bangsa, dari beberapa kali pergantian pemerintahan dan wakil rakyat, kecenderungannya menunjukkan perilaku yang kurang lebih sama, yaitu kurang memiliki keberpihakan kepada rakyat, justru berpihak kepada kepentingan pribadi kerabat dan konco. Janji-janji mendahulukan dan mementingkan rakyat hanya dijadikan obyek. Baik untuk meningkatkan penghasilan pribadi, kelompok, maupun sebagai pembenaran atas kebijakan yang tidak populis dan merugikan rakyat. Kesimpulan ini bukan fitnah, tapi sebuah fakta. Lihatlah kasus rancangan undang-undang yang dibuat berdasarkan sponsor pengusaha yang terkait langsung dengan rancangan undang-undang tersebut.
Perilaku semacam ini tentu bertentangan dengan apa yang telah Rasulullah saw dan para sahabat contohkan. Rasulullah menginformasikan bahwa pemimpin, termasuk para wakil rakyat adalah pelayan bagi kaumnya. Artinya, wakil rakyat tugasnya memberikan pelayanan yang optimal kepada rakyat dengan memelihara segala urusan, kesejahteraan, dan kemaslahatan rakyatnya.
Selanjutnya, Rasulullah saw juga mengingatkan para wakil rakyat yang tidak amanah bahwa mereka kelak tidak akan pernah mencium wanginya surge. Rasulullah saw bersabda: “tidak seorang hambapun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara dan mengurus kemaslahatan rakyat lalu dia tidak melingkupi rakyat dengan kemaslahatan kecuali ia tidak akan mencium harumnya surge.”( HR.Bukhari).
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw menegaskan, “tidak seorang hambapun yang diserahi Allah memelihara dan mengurus (kepentingan) rakyat, lalu meninggal, sementara ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan atas dirinya surge.” (HR. Muslim, Ahmad, dan ad-Danmi)
Bahkan Rasullah saw mendoakan mereka yang diserahi amanah lalu menyalahgunakan amanah agar Allah menimpakan kesengsaraan kepada mereka seperti mereka menyengsarakan rakyatnya. Doa Rasulullah saw, “ Ya Allah, siapa saja yang memegang urusan umatku dan bersikap memberatkan atau menyulitkan mereka, maka balaslah dengan perlakuan yang sama. Siapa saja yang memegang urusan umatku lalu bersikap lembut kepada mereka, balaslah dengan perlakuan yang sama.” (HR. Muslim).
Uraian di atas jelas menunjukkan betapa besar azab dan siksa yang akan diterima oleh para pemegang amanah. Azab dan siksa ini tentu bukan hanya diterima di dunia saja. Tetapi yang lebih dahsyat di akhirat kelak. Azab dunia dapat berupa hukuman sosial seperti dikucilkan masyarakat, tidak terpilih lagi dalam pemilu berikutnya.
Sebelum semua itu terjadi maka para caleg perlu melakukan langkah antisipasi melalui tindakan cerdas dengan tetap berpegang pada ridho Allah swt. Jadilah pemegang amanah seperti khalifah Umar bin Abdul aziz. Pemegang amanah yang masih muda, tetapi dapat mensejahterakan rakyatnya dalam waktu yang relative singkat, dua tahun lima bulan, tidak cukup satu periode bagi kepemimpinan seorang anggota dewan (lima tahun satu periode).
Kalifah Umar bin Abdul Aziz sebelum diangkat menjadi khalifah, beliau dan keluarga termasuk keluarga yang kaya raya. Tetapi setelah diangkat menjadi khalifah, beliau dan keluarga kemudian meninggalkan kemewahan hidup. Segala kekayaan yang dimilikinya diserahkan ke baitul mal (kas Negara). Selanjutnya beliau dan keluarganya hidup hanya mengandalkan gaji dari Negara yang beliau tetapkan sendiri besarannya 200 dinar dalam setahun yang saat itu senilai dengan upah (maaf) pembantu rumah tangga.
Sebelum menjadi khalifah, makanannya yang dikonsumsi termasuk dalam kategori masyarakat mampu. Tetapi setelah menjadi khalifah, makanan yang dikonsumsi hanya berupa roti kering dicampur minyak. Makanan bagi kalangan pinggiran saat itu. Suatu saat beliau ditanya oleh stafnya tentang sikapnya tersebut. Jawabnya sangat menggetarkan jiwa: “bagaimana aku bisa merasakan penderitaan rakyat jika saya hidup dalam kemewahan”.
Sepertinya firman Allah swt dalam surah Al-Anfal ayat 27 telah terpatri dalam hatinya. “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahuinya”. Ayat inilah yang menjadi pegangan Umar bin Abdul Aziz dalam menjalankan jabatannya.
Sekiranya para caleg memiliki karakter seperti Umar bin Abdul Aziz, maka tanpa kampaye dengan menghaburkan duitpun (money politic) caleg tersebut insya allah mulus ke kursi parlemen.
Andai saja para pemegang amanah rakyat memiliki kepribadian layaknya Umar bin Abdul Aziz, maka gedung parlemen dipenuhi oleh politisi yang senantiasa membuat kebijakan mensejahterakan rakyat, bukan malah menyengsarakan rakyat. Mereka hendaklah menerima gaji sekedarnya saja, bukan malah menuntut gaji secara berlebihan memperkaya diri.
Para caleg harus sudah siap meluangkan waktu sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, tidak rangkap jabatan, juga sudah siap melepaskan segala kegiatan yang dapat melalaikan mereka dari mengurus rakyat.
Namun sangat disayangkan pilitisi model Umar Bin Abdul Aziz masih sangat langka di parlemen. Ironisnya lagi adalah partai-partai yang berdasarkan islam (ajaran agama) justru kadernya kadang menunjukkan sikap dan prilaku yang sangat tidak islami. Fenomenanya justru yang menjamur adalah pelitisi aji mumpung, politisi yang larut dalam syahwat kekuasaan.
Ditengah-tengah kita, masih banyak manusia yang maju jadi caleg bukan dimotivasi oleh semangat pengabdian dan semangat untuk menjadi pelayan masyarakat, tapi termotivasi oleh libido kekuasaan.
Kekuasaan itu memang menggiurkan di negeri ini karena segala hal dapat dimulai dari kekuasaan. Dari politik para pengusaha pun dengan mudah merapat ke penguasa. Uang mengabdi politik dan politik jadi terikat uang.
Kekuasaan ibarat gula yang mengundang kawanan semut karenanya banyak sekali ditemu mengusaha yang sudah beromset milyaran masih ingin menuju parlemen. Para pengusahapun berebut jadi pilitisi, sementara para politi berebut jadi pengusaha dan bahkan tidak sedikit yang sekalian merangkap keduanya, politisi sekaligus pengusaha, pengusaha sekaligus politisi, sehingga lupa amanat pemilih. Lalu sanak keluargapun ikut sibuk berada dilingkaran kuasa, jadi politisi karbitan atau menjadi pengusaha atas berkah kekuasaan keluarga. Politik sekalian jadi lowongan kerja secara turun temurun. Jadi jangan heran jika kita menjumpai baleho mempernalkan caleg yang masih itu-itu juga. Bahkan ada dijumpai baleho yang menampangkan wajah orang yang tidak jelas latar belakang prestari dan karier politiknya, tiba-tiba masuk daftar caleg DPR-RI.
Ada juga dijumpai orang yang suka berkeliaran di tempat-tempat yang identik dengan kegiatan melanggar ajaran agama, tiba-tiba wajahnyapun muncul di baleho dengan bungkusan kostum yang sangat soleh disertai kalimat da’wah layaknya seorang ulama.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada baiknya kita merenungkan kemabali pesan orang-orang bijak: “ Belajarlah dari sejarah”. Para caleg dapat belajar pada khulafa ar-Rasyidin (empat sahabat pilihan Rasulullah saw)di masa silam. Pelajarilah pola hidup manusia soleh tersebut, yang tetap istiqamah dalam memperjuangkan amanah rakyat walau nyawa sebagai taruhannya. Dalam sejarah modern, bisa belajar pada Mahatma Gandhi dan George Washington. Gandhi mengajarkan bagaimana jadi pemimpin pencerahan tanpa harus berkuasa. Sedangkan Washington adalah sosok menguasa yang tahu persis kapan harus turun dalam saat yang tepat, ketika sukses telah diraih lalu member jalan kepada generasi penerus. Jangan seperti layang-layang putus, yang tak berkesudahan. Tak tahu titik berhenti. Kalau tak mampu belajar dari mereka tak perlu memaksakan diri memikul amanah yang tak mampu dipikul. Apalah guna jadi legislator jika bikin banyak orang susah. Lalu berbuntut pada terseretnya kita ke kursi pesakitan. Lebih baik jadi orang biasa saja. Siapa tahu berkah. Wallahu a’lam

1 komentar:

catatan kuliah ophick mengatakan...

tapi selain kesiapan...
perlu juga niatnya....
jangan sampai cuma tergiur sama gaji
bkan begitu pak ustadz.....