Kamis, 12 Juni 2008

FAJAR, Jumat, 14 Oktober 2005

SOSIALISASI KEMUNAFIKAN
Das’ad Latif
Ketua Ikatan Da’i Muda Profesional Makassar

Setiap bulan Ramadan selalu diiringi, dengan munculnya fenomena dalam media massa yaitu seolah-olah Islam telah berhasil 'menguasai' media massa, terutama TV. Selama bulan Ramadhan, kalau kita menonton TV, terutama pagi sekitar waktu sahur dan subuh serta menjelang buka puasa, rasanya negara kita ini adalah negara yang dihuni oleh muslim semata.
Pada waktu-waktu tersebut, kaum muslim sangat dimanjakan dengan suguhan acara yang sangat religius. Beragam acara dikemas oleh media massa dalam nuansa islam seperti lagu, sinetron, komedi dan dakwah.
Bukan hanya itu, setiap stasiun TV bahkan berusaha mempertemu-kan pemirsa dengan ustad atau mubaliq siapa saja, segala artis, yang bisa jadi pemirsa belum mengenal mereka sebelumnya.
Satu hal yang sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh yaitu acara yang menampilkan wawancara dan dialog interaktif dengan beberapa sosok artis atau selebritis seputar kehidupan mereka.
Acara ini menjadi istimewa karena menampilkan dan menyampaikan informasi tentang kehidupan seorang selebritis yang lain dari biasanya.
Jika selama ini (di luar Ramadhan) media massa menampilkan kehidupan mereka yang cenderung menyimpang dari norma agama seperti hura-hura, memamerkan atau mempertontonkan aurat serta memancing selera rendahan, glamour, perselingkuhan dan sejenisnya.
Memasuki bulan Ramadhan, media massa mengemas mereka ibarat mobil yang tadinya rongsokan direnovasi menjadi mobil yang menarik karena polesan.
Di bulan R.amadan media massa menampilkan mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Jika tadinya mereka mempertontonkan selera rendahan, di bulan Ramadhan mereka tampil dengan busana muslim yang sangat mengugah. Jika selama in! hura-hura dengan mata yang dimiliki, kini mereka berubah menjadi penderma.
Mereka bahkan dengan polesan tata rias, tata cahaya, latar belakang panggung, pengambil gambar yang sangat tepat, diiringi dengan kemampuan akting yang sempurna, memberikan petuah-petuah agama layaknya ulama kharismatik yang sedang berdakwah di depan jamaah.
Melihat dan menyaksikan fenomena ini, bagaimana kita menanggapi dan menghayati ya ? Apakah kita bersyukur, bangga, merasa Ge Er atau kita merasa menang terhadap saudara kita yang kebetulan non muslim.
Fenomena ini tentu sangat dilematis. Di satu sisi ia memberikan kegembiraan tersendiri karena kita merasa satu lagi saudara kita yang mendapat keberkahan Ramadhan tapi di sisi lain, belajar dari tahun-tahu sebelumnya, ternyata kita banyak ditipu oleh kesalehan artis.
Kita merasa ditipu, karena setelah Ramadhan mereka kembali mempertontonkan sesuatu yang tidak selayaknya dilakukan oleh orang yang beragama Islam, semisal, mempertontonkan hampir seluruh tubuhnya di depan umum.
Jika pelaku itu diperankan dalam sebuah drama, mungkin ada yang masih memakluminya dengan pertimbangan mungkin tuntutan skenario.
Tapi di luar acara itu (acara kuis, pentas musik, kabar-kabari) tentu kita bingung dan merasa sangat sulit untuk menerimanya, dan mungkin juga muncul prasangka negatif jangan-jangan mereka menjadikan agama hanya sebagai lipstick. Semoga saja tidak demikian.
Fenomena ini (Ramadhan mereka alim setelah Ramadan mereka menyimpang lagi) memaksa kita untuk berasumsi bahwa media massa telah memperkenalk;an mensosialisasikan kepada khalayak sebuah sifat dan perilaku yang sangat berbahaya yaitu "Budaya Munafik" yang diperkenalkan, dan disosialisasikan oleh media massa tentu efeknya sangat jauh lebih berbahaya daripada yang diperkenalkan dalma pergaulan sehari-hari, karena media massa, terutama TV, jangkauannya sangat luas dan hampir dapat menerpa seluruh lapisan masyarakat.
Apapun pembelaan yang dikemukakan, sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa selayaknya dan mungkin tidak berlebihan apabila kita prihatin jika media massa terus menerus melakukan penyesuaian. Hal ini karena bagaimanapun media massa sangat berpengaruh besar dalam memberikan pendidikan tertentu kepada khalayak.
Menurut "Social Learning Theory" yang ditampilkan oleh Albert Mandura, menyatakan bahwa media massa dapat menjadi agen dalam memberikan pendidikan dan agen sosialisasi kepada khalayak.
Menurutnya, titik permulaan dari proses belajar adalah peristiwa yang bisa diamati, baik langsung maupun tidak langsung, oleh seseorang. Peristiwa tersebut mungkin terjadi pada kegiatan si orang itu sehari-hari, dapat pula disajikan secara langsung oleh TV, dan media massa lainnya.
Peristiwa itu bisa merupakan menunjukkan suatu perilaku nyata atau ilustrasl pola pikir (abstract modeling). Perilaku nyata dipelajari dari observasi perilaku tersebut, sedangkan sikap, nilai, pertimbangan moral, dan persepsi terhadap kenyataan sosial dipelajari melalui abstract modeling tadi.
Masih menurut Mandura, dalam belajar secara sosial, ada empat langkah yang dilalui. Pertama adalah perhatian terhadap suatu peristiwa. Jelas bahwa kita tidak dapat belajar dari suatu peristiwa kecuali kalau kita menaruh perhatian kepadanya.
Dikaitkan dengan acara Ramadhan yang menampilkan selebritis, disini jelas khalayak menaruh perhatian pada acara tersebut karena menampilkan artis yang telah menjadi idola khalayak. Sesuatu yang menjadi idola, pastilah menarik -perhatian kita. Dengan demikian, media massa secara tidak langsung telah memperlihatkan perilaku munafik dari artis yang diidolakan sehingga sebagai fans, khalayak tentu sangat menaruh perhatian terhadap perilaku tersebut.
Pada tahap ini, kemampuan seseorang dalam proses informasi, umur, intelegensi, daya persepsi, dan taraf emosional ikut pula menentukan perhatian khalayak.
Langkah kedua, yakni proses retensi, peristiwa yang menarik perhatian dimasukkan ke dalam benak dalam bentuk lambang secara verbal atau imaginal sehingga menjadi ingatan.
Budaya munafik yang dipertontonkan media massa yang telah menarik perhatian sehingga langkah selanjutnya dapat menguasai memori khalayak, terutama bagi mereka yang terlalu ngefans terhadap sosok artis tertentu.
Pada langkah ketiga, motor reproduction process, hasil ingatan tadi akan meningkat menjadi bentuk perilaku.
Kemampuan kognitif dan kemampuan motorik pada, pada langkah ini berperan penting. Jika pada kedua khalayak telah menyimpan dalam memori mereka tentang perilaku munafik dari para idolanya, maka tahap ketiga khalayak merasa bahwa munafik itu sudah menjadi budaya populer sehingga bisa jadi mereka ikut pula mempopulerkan perilaku tersebut.
Langkah ke empat, motivational process, menunjukkan bahwa perilaku akan berwujud apabila terdapat nilai peneguh.
Peneguh dapat berbentuk ganjaran eksternal, pengamatan yang menunjukkan bahwa bagi orang lain ganjaran disebabkan perilaku yang sama, serta ganjaran internal, misalnya rasa puas diri. Pada tahap ini khalayak yang ngefans pada artis tertentu memiliki kepuasan tersendiri jika telah berhasil mengikuti perilaku idolanya meskipun perilaku tersebut bertentangan dengan agama.
Hal ini ternyata menggejala di sekitar kita “mengapa anda berpakaian seperti ini ?, jawabnya; Khan lagi ngetrend di teve”.
Terlepas dari itu semua, salah satu langkah terbaik yang bisa dilakukan sekarang adalah berdoa semoga mereka yang terlibat dalam acara Ramadhan dan artis yang memerankan tokoh orang soleh di bulan Ramadhan ini dibukakan pintu pikiran dan hatinya untuk tetap berperan sebagai agen dalam menyebarkan ajaran agama Islam setelah Ramadhan, sehingga kita semua betul-betul menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu A’lam.
FAJAR, Jumat, 14 Oktober 2005

SOSIALISASI KEMUNAFIKAN
Das’ad Latif
Ketua Ikatan Da’i Muda Profesional Makassar

Setiap bulan Ramadan selalu diiringi, dengan munculnya fenomena dalam media massa yaitu seolah-olah Islam telah berhasil 'menguasai' media massa, terutama TV. Selama bulan Ramadhan, kalau kita menonton TV, terutama pagi sekitar waktu sahur dan subuh serta menjelang buka puasa, rasanya negara kita ini adalah negara yang dihuni oleh muslim semata.
Pada waktu-waktu tersebut, kaum muslim sangat dimanjakan dengan suguhan acara yang sangat religius. Beragam acara dikemas oleh media massa dalam nuansa islam seperti lagu, sinetron, komedi dan dakwah.
Bukan hanya itu, setiap stasiun TV bahkan berusaha mempertemu-kan pemirsa dengan ustad atau mubaliq siapa saja, segala artis, yang bisa jadi pemirsa belum mengenal mereka sebelumnya.
Satu hal yang sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh yaitu acara yang menampilkan wawancara dan dialog interaktif dengan beberapa sosok artis atau selebritis seputar kehidupan mereka.
Acara ini menjadi istimewa karena menampilkan dan menyampaikan informasi tentang kehidupan seorang selebritis yang lain dari biasanya.
Jika selama ini (di luar Ramadhan) media massa menampilkan kehidupan mereka yang cenderung menyimpang dari norma agama seperti hura-hura, memamerkan atau mempertontonkan aurat serta memancing selera rendahan, glamour, perselingkuhan dan sejenisnya.
Memasuki bulan Ramadhan, media massa mengemas mereka ibarat mobil yang tadinya rongsokan direnovasi menjadi mobil yang menarik karena polesan.
Di bulan R.amadan media massa menampilkan mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Jika tadinya mereka mempertontonkan selera rendahan, di bulan Ramadhan mereka tampil dengan busana muslim yang sangat mengugah. Jika selama in! hura-hura dengan mata yang dimiliki, kini mereka berubah menjadi penderma.
Mereka bahkan dengan polesan tata rias, tata cahaya, latar belakang panggung, pengambil gambar yang sangat tepat, diiringi dengan kemampuan akting yang sempurna, memberikan petuah-petuah agama layaknya ulama kharismatik yang sedang berdakwah di depan jamaah.
Melihat dan menyaksikan fenomena ini, bagaimana kita menanggapi dan menghayati ya ? Apakah kita bersyukur, bangga, merasa Ge Er atau kita merasa menang terhadap saudara kita yang kebetulan non muslim.
Fenomena ini tentu sangat dilematis. Di satu sisi ia memberikan kegembiraan tersendiri karena kita merasa satu lagi saudara kita yang mendapat keberkahan Ramadhan tapi di sisi lain, belajar dari tahun-tahu sebelumnya, ternyata kita banyak ditipu oleh kesalehan artis.
Kita merasa ditipu, karena setelah Ramadhan mereka kembali mempertontonkan sesuatu yang tidak selayaknya dilakukan oleh orang yang beragama Islam, semisal, mempertontonkan hampir seluruh tubuhnya di depan umum.
Jika pelaku itu diperankan dalam sebuah drama, mungkin ada yang masih memakluminya dengan pertimbangan mungkin tuntutan skenario.
Tapi di luar acara itu (acara kuis, pentas musik, kabar-kabari) tentu kita bingung dan merasa sangat sulit untuk menerimanya, dan mungkin juga muncul prasangka negatif jangan-jangan mereka menjadikan agama hanya sebagai lipstick. Semoga saja tidak demikian.
Fenomena ini (Ramadhan mereka alim setelah Ramadan mereka menyimpang lagi) memaksa kita untuk berasumsi bahwa media massa telah memperkenalk;an mensosialisasikan kepada khalayak sebuah sifat dan perilaku yang sangat berbahaya yaitu "Budaya Munafik" yang diperkenalkan, dan disosialisasikan oleh media massa tentu efeknya sangat jauh lebih berbahaya daripada yang diperkenalkan dalma pergaulan sehari-hari, karena media massa, terutama TV, jangkauannya sangat luas dan hampir dapat menerpa seluruh lapisan masyarakat.
Apapun pembelaan yang dikemukakan, sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa selayaknya dan mungkin tidak berlebihan apabila kita prihatin jika media massa terus menerus melakukan penyesuaian. Hal ini karena bagaimanapun media massa sangat berpengaruh besar dalam memberikan pendidikan tertentu kepada khalayak.
Menurut "Social Learning Theory" yang ditampilkan oleh Albert Mandura, menyatakan bahwa media massa dapat menjadi agen dalam memberikan pendidikan dan agen sosialisasi kepada khalayak.
Menurutnya, titik permulaan dari proses belajar adalah peristiwa yang bisa diamati, baik langsung maupun tidak langsung, oleh seseorang. Peristiwa tersebut mungkin terjadi pada kegiatan si orang itu sehari-hari, dapat pula disajikan secara langsung oleh TV, dan media massa lainnya.
Peristiwa itu bisa merupakan menunjukkan suatu perilaku nyata atau ilustrasl pola pikir (abstract modeling). Perilaku nyata dipelajari dari observasi perilaku tersebut, sedangkan sikap, nilai, pertimbangan moral, dan persepsi terhadap kenyataan sosial dipelajari melalui abstract modeling tadi.
Masih menurut Mandura, dalam belajar secara sosial, ada empat langkah yang dilalui. Pertama adalah perhatian terhadap suatu peristiwa. Jelas bahwa kita tidak dapat belajar dari suatu peristiwa kecuali kalau kita menaruh perhatian kepadanya.
Dikaitkan dengan acara Ramadhan yang menampilkan selebritis, disini jelas khalayak menaruh perhatian pada acara tersebut karena menampilkan artis yang telah menjadi idola khalayak. Sesuatu yang menjadi idola, pastilah menarik -perhatian kita. Dengan demikian, media massa secara tidak langsung telah memperlihatkan perilaku munafik dari artis yang diidolakan sehingga sebagai fans, khalayak tentu sangat menaruh perhatian terhadap perilaku tersebut.
Pada tahap ini, kemampuan seseorang dalam proses informasi, umur, intelegensi, daya persepsi, dan taraf emosional ikut pula menentukan perhatian khalayak.
Langkah kedua, yakni proses retensi, peristiwa yang menarik perhatian dimasukkan ke dalam benak dalam bentuk lambang secara verbal atau imaginal sehingga menjadi ingatan.
Budaya munafik yang dipertontonkan media massa yang telah menarik perhatian sehingga langkah selanjutnya dapat menguasai memori khalayak, terutama bagi mereka yang terlalu ngefans terhadap sosok artis tertentu.
Pada langkah ketiga, motor reproduction process, hasil ingatan tadi akan meningkat menjadi bentuk perilaku.
Kemampuan kognitif dan kemampuan motorik pada, pada langkah ini berperan penting. Jika pada kedua khalayak telah menyimpan dalam memori mereka tentang perilaku munafik dari para idolanya, maka tahap ketiga khalayak merasa bahwa munafik itu sudah menjadi budaya populer sehingga bisa jadi mereka ikut pula mempopulerkan perilaku tersebut.
Langkah ke empat, motivational process, menunjukkan bahwa perilaku akan berwujud apabila terdapat nilai peneguh.
Peneguh dapat berbentuk ganjaran eksternal, pengamatan yang menunjukkan bahwa bagi orang lain ganjaran disebabkan perilaku yang sama, serta ganjaran internal, misalnya rasa puas diri. Pada tahap ini khalayak yang ngefans pada artis tertentu memiliki kepuasan tersendiri jika telah berhasil mengikuti perilaku idolanya meskipun perilaku tersebut bertentangan dengan agama.
Hal ini ternyata menggejala di sekitar kita “mengapa anda berpakaian seperti ini ?, jawabnya; Khan lagi ngetrend di teve”.
Terlepas dari itu semua, salah satu langkah terbaik yang bisa dilakukan sekarang adalah berdoa semoga mereka yang terlibat dalam acara Ramadhan dan artis yang memerankan tokoh orang soleh di bulan Ramadhan ini dibukakan pintu pikiran dan hatinya untuk tetap berperan sebagai agen dalam menyebarkan ajaran agama Islam setelah Ramadhan, sehingga kita semua betul-betul menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu A’lam.
Jangan Putus Asa!,…..”Dunia tidak kiamat dengan kenaikan BBM”
Das’ad Latif

Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku efektif sejak tanggal 24 mei 2008 dengan prosentasi kenaikan yang berbeda-beda. Dalam harga baru ini, bensin naik dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.000 per liter. Solar yang tadinya Rp. 4.300 menjadi Rp. 5.500 per liter. Sementara minyak tanah yang awalnya Rp. 2000 kini menjadi Rp. 2.500 per liter.
Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM sontak menuai protes dari berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga kelompok masyarakat melakukan protes terhadap keputusan tersebut. Mereka adalah mahasiwa, mengamat atau pakar ekonom, dan politisi. Mahasiswa menilai keputusan menaikkan BBM adalah suatu keputusan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil-yang menjadi bagian terbesar dari bangsa kita-. Menaikkan BBM bukanlah solusi tepat dalam menyelamatkan perekonomian kita. Sebaigian pengamat atau ekonom menilai bahwa kenaikan BBM justru akan menambah masalah prekonomian bangsa, diantaranya suku bunga akan naik, bertambahnya jumlah rakyat miskin, harga barang turut naik, dan yang lebih parah adalah memicu terjadinya lonjakan pengangguran. Demikian penilaian ekonom.
Lain lagi penilaian politisi. Selain setuju dengan alasan mahasiswa dan pengamat, politisi juga menilai bahwa pemerintah dibawah komando SBY-JK telah melakukan pengingkaran janji politiknya, dimana SBY pernah berjanji saat menaikkan BBM di tahun 2005 bahwa dia tidak akan menaikkan lagi harga BBM.
Pemerintah ternyata menampik semua tuduhan tersebut. Dan salah satu upaya pemerintah menampik tuduhan tersebut adalah dengan meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat yang menjadi korban dampak kenaikan BBM.
Pemerintah justru berkesimpulan bahwa meskipun keputusan menaikkan harga BBM tidak popular dan bisa berdampak politik pada pemilu yang akan datang, namun keputusan tersebut harus diambil demi menyelamatkan perekonomian bangsa. Penyelamatan perekonomian jauh lebih penting daripada pada sekedar mempertahankan popularutas.
Penyelamatan yang Adil
Secara umum kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM ditempuh dengan maksud mengurangi beban devisit APBN 2008. Dalam konteks ini, rencana ini rasional karena dari sudut pertimbangan ekonomi makro, kebijakan ini merupakan upaya penyelamatan yang dianggap dapat mengatasi devisit anggaran. Namun secara sosiologis, psikologis, masyarakat merasa sangat terbebani karena, situasi yang kondisinya yang belum tepat diberlakukan di masa krisis sekarang. Dari kenyataan ini jelas bahwa kebijakan menaikkan BBM merupakan pilihan penyelematan yang sangat dilematis. Di satu pihak pemerintah tidak ingin menambah pemberitaan masyarakat, dipihak lain, devisit anggaran harus ditutupi jika pembangunan ingin tetap jalan. Disatu sisi kita ingin APBN eksis, tapi disi lain kita juga tidak ingin memberatkan masyarakat.
Menyikapi penyelamatan dilematis ini suka atau tidak, rencana tersebut rupa-rupanya masyarakat harus berjiwa besar menerimanya. Sepertinya pepatah yang mengatakan tidak semua yang pahit itu racun, cocok untuk dijadikan pegangan dalam kondisi dilematis seperti sekarang ini, dan Setiap kita tentu berharap semoga pilihan pahit kali ini betul-betul bukan racun bagi kita. Semoga apa yang kita rasakan kali ini merupakan jamu yang kelak dikemudian hari memberikan manfaat positif bagi kesehatan kita.
Agar harapan ini terwujud, maka yang terpenting dilakukan sekarang adalah setiap kita harus secara gencar melakukan tekanan-tekanan kepada pihak PLN agar pasca kenaikan TDL pihak PLN melakukan pelayanan yang maksimal dan berorientasi pada kepuasan konsumen atau pelanggan agar rasa terbebani dapat diobati dengan pelayanan PLN yang memuaskan.
Kepada PLN, penentuan tarif harus betul-betul strategis. Kepada pelanggan kecil dan berpenghasilan rendah, dikenakan tarif paling murah dan memenuhi daya beli. Besarnya kenaikan tarif harus disesuaikan dengan tingkat ekonomi rakyat.
Tentu sangatlah tidak adil jika paket penyelamatan ini semata hanya dibebankan kepada masyarakat tanpa diiringi dengan perbaikan internal ditubuh , PLN karenanya PLN harus melakukan perbaikan kinerjanya, terutama terhadap pelayanan kepada pelangggan yang selama ini dirasakan sangat menyakitkan hati pelanggan. Pencatatan meteran listrik yang main tebak-tebak, pelayanan gangguan listrik yang sangat lambat, pelayanan pengaduan yang lambat, dan lain-lain harus, segera diperbaiki PLN.
Kenaikan TDL haruslah diiringi dengan peningkatan profesionalisme pelayanan terhadap konsumen. Berkaitan hal itu maka tiga hal penting yang harus dilakukan oleh PLN sebagai wujud nyata dari penyelamatan PLN adalah Pertama, meningkatkan kualitas pelayanan (memberikan kepuasan kepada pelanggan), Kedua melakukan efesiensi semaksimal mungkin dan Ketiga, keterbukaan atau transparansi terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh PLN, termasuk didalamnya transparansi dalam proses tender proyek.
Selain konstribusi konsumen dan internal PLN dalam menyelamatkan PLN, pihak elit politik juga harus proaktif dalam masalah penyelamatan PLN. Jika rakyat harus berkorban untuk mengurangi beban devisit anggaran dengan menerima kenyataan pahit kenaikan TDL, maka para elit harus menghargai pengorbanan rakyat dengan cara menghentikan pertikaian mereka dalam memperebutkan kekuasaan yang berakibat pada ketidakstabilan nilai tukar rupiah.
Para elit politik harus menyadari bahwa listrik menyangkut hajat hidup orang banyak maka sangatlah tidak pantas untuk dijadikan komoditas politik. Wallahu A' lam.
FAJAR, Rabu, 6 November 2002

ADA APA DIBALIK PERPU ANTI-TERORIS ?
Oleh : Das’ad Latif

Ledakan bom di kota wisata Bali tidak hanya menyisakan korban jiwa sekitar 184 orang, tapi juga berbagai macam reaksi dan masalah baru yang tidak hanya datang dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Reaksi dari luar negeri yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Australia secara terang-terangan melakukan diplomasi politik kepada pemerintah Indonesia yang bertujuan agar pemerintah Indonesia melakukan tindakan nyata dalam menangani aksi terorisme yang menurut negara tadi telah tumbuh subur di Indonesia.
Bagaimana reaksi pemerintah terhadap diplomasi tadi? Fenomena menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hat ini Presiden Megawati Soekarnoputri, sangat responsif terhadap maksud dan keinginan pemerintah Amerika dan Australia. Pemerintah bahkan sangat bernafsu dalam melakukan penanganan tindakan-tindakan yang berbau teror.
Perwujudan upaya pemerintah dalam menangani gerakan teroris adalah dikeluarkannya kebijaksanaan pemerintah berupa Perpu Anti-Teroris. Pemerintah dengan penuh percaya diri memproklamirkan kepada publik bahwa cara ampuh untuk menghentikan gerakan teroris di tanah air adalah dengan memberlakukan perpu Anti-Terorisme.
Dalam kaitan ini, pemerintah melakukan berbagai aktivitas yang bertujuan untuk membangun opini yang mengarah kepada terbentuknya keyakinan bahwa kita tidak bisa mengatasi terorisme tanpa perpu. Seolah-olah pemerintah ingin mengkomunikasikan kepada seluruh warga negara bahawa jika anda ingin bebas dari incaran teroris maka anda harus mendukung pelaksanaan perpu Anti-Terorisme. Dengan kata lain pemerintah berusaha meyakinkan publik bahwa cara ampuh untuk melawan teroris adalah Perpu Anti-Teroris.
Keyakinan pemerintah terhadap keampuhan Perpu Anti-Teroris merupakan gerakan terorisme di tanah air, ternyata kurang mendapat dukungan masyarakat, terutama dari kalangan pro demokrasi, praktisi hukum, kalangan akademisi, LSM, bahkan ada juga mantan pejabat negara yang ikut melakukan perlawanan terhadap perpu tersebut. Sebutlah misalnya Muladi yang secara terang-terangan berkampanye agar kita menolak perpu anti terorisme.
Penolakan mereka sangat beralasan karena dalam perpu tersebut, pada pasal-pasal tertentu dinilai sangat bertentangan dengan HAM dan demokrasi yang selama ini terus diperjuangkan oleh kelompok pro reformasi.
Selain alasan utama tadi, juga ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sehingga perpu tersebut harus dikritisi, antara lain: Pertama, defenisi terorisme dalam perpu tersebut masih sangat abstrak dan dapat menimbulkan persepsi yang bermacam-macam. Penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Terorisme hanya didefenisikan dengan mengemukakan karakteristik dari terorisme yaitu segala tindakan yang dapat menimbulkan kecemasan masyarakat umum/sipil.
Mengacu pada abstraknya kalimat “menimbulkan kecaman umum” tentu mempunyai makna yang sangat luas, Apakah bentrok antar anggota TNI dan Polisi yang banyak terjadi akhir-akhir ini bisa digolongkan tindakan terorisme sebab menimbulkan kecemasan masyarakat umum. Bahkan, apakah Perpu Anti Terorisme itu sendiri tidak menimbulkan kecemasan di kalangan penganut agama tertentu, terutama kalangan Islam yang sering dicap Islam garis keras.
Kedua, dalam perpu anti terorisme ada pasal yang dinilai melanggar nilai-nilai kemanusiaan karena data, dari intelijen dapat dijadikan bahan atau alasan bagi pihak kepolisian untuk menahan seseorang. Kerancuan ini terbukti pada dengan membakar Ba’asyir yang ditahan hanya berdasarkan data CIA yang menyebutkan pengakuan Umar Al-Faruq pernah ketemu dengan sang Kiyai. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan dunia peradilan kita. Masa orde baru saja, yang dinilai sebagai rezim yang sangat otorirer, tidak menjadikan data intelijen sebagai..dasar penahanan terhadap seseorang.
Kelemahan-kelemahan tersebut harus segera disempurnakan oleh pemerintah agar perpu Anti-Terorisme mendapat dukungan dari masyarakat. Jika maka perpu ini akan melahirkan kesan bahwa kebijaksanaan pemerintah tersebut hanya untuk memuaskan “jurangan” Amerika Serikat. Buktinya, kasus Bali (maaf, tidak bermaksud mengurangi rasa duka) yang menewaskan kurang lebih 184 orang pemerintah langsung mengeluarkan kebijaksanaan se tingkat perpu. Sementara ribuan anak bangsa yang tewas di Ambon, Poso, dan Nunukan tidak dikeluarkan kebijaksanaan pemerintah se tingkat perpu. Apakah pemerintah lebih berkewajiban melindungi jiwa dan raga bangsa lain daripada bangsanya sendiri?. Atau apakah karena di Bali ada Dolar sementara di Ambon, Poso dan Nunukan hanya rupiah?.
Tuduhan miring lainnya adalah Perpu Anti- Teroris dinilai sebagai alat pemerintah memperluas kewenangan dalam melanggengkan kekuasaannya, termasuk mengikis habis lawan-lawan politiknya.
Lebih jauh dari itu bisa jadi perpu Anti-Terorisme dinilai sebagai sarana rezim yang berkuasa dalam memenangkan pemilu akan datang. Apabila ini terbukti kebenarannya, maka perpu Anti-Terorisme tidak akan mampu menangani gerakan teror, akan tetapi perpu Anti-Terorisme pasti akan menjadi bumerang bagi pemerintahan Megawati.
Jika demikian persoalannya, bagaimana cara menangani fenomena munculnya gerakan terorisme di tanah air? Diantaranya adalah mengoptimalkan pelaksanaan Undang-undang kriminal yang sudah ada. Daripada membuat perpu yang mendapat banyak perlawanan dari warga negara, tidakkah lebih baik pemerintah memaksimalkan penegakan peraturan tentang kriminal yang sudah ada, dimulai dengan memfungsikan secara maksimal aktor-aktor penegak hukum. Cara lain adalah meratifikasikan konfensi internasional tentang terorisme.
Sejalan dengan ini, kenyataan empiris menunjukkan bahwa ketiadaan Undang-undang Anti-Terorisme tidak serta merta menyebabkan negara ramai dengan aksi teror. Sebutlah misalnya negara Kanada, Perancis, Inggris dan Jerman yang tidak mempunyai undang-undang Anti-Terorisme tapi hingga kini negaranya bebas dari aksi terorisme. Mengapa demikian?, karena di negara tersebut para aktor penegak hukum betul-betul profesional dalam menegakkan hukum.
Mengakhiri tulisan ini penulis ingin menyampaikan dua hal. Pertama, tidak semua orang dirugikan oleh kasus Bom Bali. Ada segelintir orang yang mendapat angin segar setelah peledakan bom Bali. Antara lain Anggota DPR-RI yang terlibat suap dalam kasus Bank Niaga, Jaksa Agung dengan kasus rumah mewahnya yang tidak didaftar di KPKN, dan kasus lain yang sekarang ini lepas dari tekanan media / publik karena media / publik berkonsentrasi pada kasus peledakan Bom di Bali. Kedua, Kasus Bom Bali jangan sampai menguras seluruh perhatian dan energi kita karena ada agenda lain yang jauh lebih penting daripada itu yakni mewujudkan pemilu 2004 yang Luber dan Jurdil. Pemilu 2004 tidak boleh gagal karena merupakan momentum penting dalam mengawal perjalanan reformasi.

Das’ad Latif
Ketua Sentra Studi Isu-Isu Strategis Sulsel